(CERPEN) Dia Bukan Ibuku

Contoh cerpen tentang ibu adalah Dia Bukan Ibuku

Hari itu udara terasa sumpek dan panas. Langit di atas sana nampak kelam dan suram, mendung tebal menggelayuti pemandangan. Angin bertiup lembut, menerbangkan daun-daun pohon yang tertiupnya. Suasana di sekitar tampak sepi dan hening, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan. Beberapa tetes air mulai turun dari langit, menandakan bahwa hujan akan segera turun. Namun, sebelum hujan turun, suasana di sekitar nampak tenang dan damai. 

Beberapa burung terbang rendah, mencari tempat berteduh di atas pohon yang dedaunannya mulai tergerus oleh hembusan angin. Warna-warna alam terlihat lebih tenang dan redup, menambah kesan sedih yang terpancar dari langit mendung itu. Semua elemen di sekitar sana memperlihatkan suasana mendung yang menyelimuti cerita ini.

Suasana di kawasan kumuh semakin terlihat kusam dan suram. Banyak sampah berserakan di jalanan, membuat aroma tak sedap menyengat hidung. Beberapa orang berjalan dengan pakaian lusuh dan kotor, menatap tajam satu sama lain. Rumah-rumah di sekitar sana tampak tua dan kurang terawat, catnya mengelupas dan atapnya bocor. Beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki di atas aspal yang panas, dengan senyum merekah di wajah mereka. Meski terlihat kumuh, namun kehidupan di sana terlihat masih berjalan seperti biasa.

Dari ujung jalan, tampak seorang anak kecil tengah menenteng sekarung goni. Anak itu terlihat lelah dan letih, tubuhnya yang kurus dan kecil terkulai lemas di tepi jalan. Wajahnya pucat dan berkeringat, napasnya tersengal-sengal. Pakaian lusuh yang ia kenakan telah robek di beberapa bagian, menunjukkan betapa sering ia menggunakannya. Di tangannya, terlihat sebuah tas ransel tua yang telah berkarat, dan sepatu karet yang tak sehalus dulu. Terlihat jelas bahwa ia adalah seorang anak miskin yang telah kelelahan dalam perjalanannya.

Anak itu berusaha bangkit, tetapi tubuhnya tidak mendukung. Ia kemudian duduk di atas trotoar dengan wajah yang tertunduk. Terlihat ia meraih botol air mineral, arkian meminumnya dengan rakus. Ia berusaha menghilangkan rasa dahaganya, meskipun airnya sudah hampir habis. Setelah selesai meminum, ia memandangi langit yang mulai menetesken hujan dan tampak menyesal karena harus berjalan jauh dari rumahnya. Meskipun lelah, terlihat di matanya semangat yang masih menyala untuk bisa menyelesaikan perjalanannya.

Dia berusaha berjalan, dan sesekali harus merelakan tubuhnya terbentur menghantam bumi. Sorot matanya tak dapat berbohong, penuh semangat dan tekad yang kuat. Harapan membara dalam hati, demi sesuap nasi pada ibunya.

Waktu berjalan beberapa menit, akhirnya hujan deras mengguyur bumi. Hujan turun dengan lembut seperti salju, melingkupi dunia dengan ketenangan, Air jatuh ke tanah membasahi bunga dan dedaunan. Tetesan air menimpa genting dan jendela, menciptakan irama yang merdu dan menenangkan. Meski begitu, anak kecil itu terus berjalan tanpa pelindung apapun sembari menilik tempat berlindung dari hujan.

Tubuh kurusnya tampak kedinginan. Sudut matanya ingin mengeluarkan air mata, namun sekuat tenaga ia tahan. Tentu agar orang-orang tak menganggapnya anak yang lemah. Tiba pada lorong sempit, netranya menangkap atap yang sedikit melengkung. Dia menapak cepat arkian bersembunyi di bawahnya. Deru nafasnya kembali terkontrol, hujan gagal mengenai tubuhnya.

Tangisan si anak akhirnya pecah. Dia merenung, berimajinasi tentang sikap ibunya yang tengah menunggu sejak tadi. Dia melirik lengan kanan, tampak bekas pukulan ibunya tergambar indah di sana. 

“Pulang tepat waktu saja terkadang membuat tubuhku tidak aman, apalagi pulang terlambat seperti ini,” ucap Aiden, nama si anak kecil itu sembari menggosok kedua telapak tangan. Bermaksud menghangatkan diri, namun tetap tidak berhasil.

Sudah lebih dari setengah jam, namun hujan tak menunjukkan tanda-tanda pemberhentian. Dengan penuh keteguhan, Aiden kembali menerobos hujan. Dia berjalan pulang, dengan air mengalir di celananya. 

Sebuah gubuk kecil telah terlihat di depan mata. Gubuk itu hanya terbuat dari kayu-kayu reot yang diikat dengan rotan, atapnya bocor dan seringkali tergenang air hujan. Di dalam gubuk itu hanya ada kasur yang berlapis daun kering dan beberapa barang-barang sederhana seperti panci, wajan, dan peralatan makan.

Aiden mengetuk pintu berbahan seng. Sepersekon kemudian, bahanan nyaring memenuhi sekitar, ibu si anak membukakan pintu. Aiden menghela nafas panjang menilik tatapan tajam penuh amarah dari netra ibunya. Wajah ibunya memerah dan bibirnya menggigit erat, menandakan bahwa ia benar-benar marah. Aiden merasakan ketakutan yang tak terkendali di dalam dadanya, ketika ibunya mulai berbicara dengan nada tinggi yang memekakkan telinga. 

Ibu mengejek dan memarahinya dengan kata-kata pedas yang menusuk hati. Aiden merasa tidak berdaya dan menangis di hadapan ibunya yang marah, tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan harus menerima konsekuensi dari tindakannya

“Kamu sudah terlambat pulang lagi. Apa sebenarnya isi kepalamu?”

Aiden menundukkan kepala, tak berani menatap wajah ibunya. “Aku berteduh sembari menunggu hujan reda, Bu. Aku tidak berbohong,” balas Aiden memberi pembelaan.

“Berteduh? Berani-beraninya kata itu menjadi alasanmu untuk tidak terlambat pulang. Ingat kalau kamu adalah anak yang miskin. Kamu tidak punya apa-apa selain tulang yang kuat. Apakah hujan bak bom yang menghantarkan nyawa ke langit? Dasar dungu,” ucap Ibu sambil menampar pipi Aiden.

Aiden menjamah pipi kanan yang menjadi landasan telapak tangan. Ia berusaha teguh menahan air mata yang hendak mencuat dari netranya.

“Apakah kamu tidak tega melihat kondisi Ibumu yang sakit-sakitan? Jika memang kepedulian tercipta dalam hatimu, tentu tak aka nada niat berteduh dari hujan”

Ibu menarik tengkuk Aiden. Bola matanya menatap wajah Aiden lamat-lamat. 

“Mengapa Ibu tidak iba melihat wajaku? Aku bukan bermaksud meniadakan Ibu dengan berteduh. Bahkan dalam kegelisahan di sana, aku tetap memikirkan kesehatan Ibu. Lihat bagaimana keadaanku saat ini, bahkan disebut hewan saja sudah tidak pantas. Hewan-hewan di kebun Binatang lebih tertata daripada diriku,” ucap Aiden sambil meneteskan air mata. 

Ibu tetap menampilkan wajah datar. Ukiran senyum enggan terbesit, entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Mengapa aku harus iba pada seseorang yang bukan anakku? Hei, coba lihat dirimu baik-baik.”

Aiden terdiam beberapa saat setelah mendengar pengakuan dari ibunya. Ia merasa dunianya tiba-tiba berhenti berputar dan hatinya terasa hancur. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa menatap ibunya dengan tatapan kosong. Aiden tidak pernah membayangkan bahwa hal ini akan terjadi. Ia selalu menganggap bahwa ibunya adalah orang yang paling dekat dengannya, dan bahwa mereka selalu memiliki hubungan yang kuat. Ya, walaupun Ibunya bersikap keras.

Sementara itu, hujan turun semakin deras. Suara tetes-tetes air yang jatuh terdengar seperti guntur yang bergemuruh. Angin kencang membuat pohon-pohon bergoyang dan dedaunan berjatuhan. Semua hal terlihat kelam dan suram.

“Apa yang kamu pikirkan?” Tanya seseorang yang membuat Aiden berhenti melamun. 

Aiden menggelengkan kepala. “Tidak ada, Rin,” ucapnya manis pada istrinya. “Aku hanya rindu suasana dalam gubuk itu. Pikiranku kembali bernonstalgia pada sore hari yang benar-benar memutar hidupku. Entahlah, tapi itu  benar-benar emosional.”

Eyrin mengukir senyum pada bibir merahnya. “Jangan terlalu dipikirkan. Peristiwa itu sudah terjadi 20 tahun silam,” ucapnya memberi semangat.

Aiden mengukir senyum manis sembari  menatap hujan yang turun deras di luar dari dalam mobil. Tetes-tetes air yang memukul atap mobil membuat suara gemerisik yang menenangkan. Setelah waktu terbabat bertahun-tahun, Aiden Kembali ke gubuk kecil itu. Ia kembali merenungkan kehidupan yang seolah seperti hujan, datang dan pergi tanpa permisi. 

Dia mendadak kesepian dan kosong. Hujan semakin deras, dan dia semakin merenungkan segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Memahami kondisi yang ada, Eyrin mendekatkan dirinya ke arah Aiden. Dia merangkulnya dengan lembut dan mengatakan bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. 

Hujan turun semakin pelan, dan perasaan Aiden perlahan-lahan membaik. Aiden merasa terhibur dan bahagia, karena tahu bahwa dia tidak sendirian. 

“Terimakasih untuk rasa sakit itu. Dia bukan ibuku,” batin Aiden. Dan meskipun hujan masih turun di luar, Aiden tahu bahwa suatu saat nanti, matahari pasti akan bersinar lagi. Pengalaman yang baik sudah menunggu untuk diraih.

*TAMAT*


BACA JUGA: (CERPEN) Clara dan Ethan

BACA JUGA: (CERPEN) Namanya Ethan

BACA JUGA: (CERPEN) Namanya Clara


WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.

TTD

Van Raja


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selumbari untuk Lusa

Anak F

Ibu Lupa Pulang

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *