Ibu Lupa Pulang

 

Cerpen Ibu Lupa Pulang


---------------------------------------------------
Malam merambat pelan di sela-sela gedung tua yang menyimpan banyak diam. Di luar jendela, lampu jalan berkedip redup, seakan ikut menyimpan rahasia yang tak sempat disampaikan. Di dalam kamar yang hening, buku harian itu kembali tertutup, tapi sesuatu telah terbuka dalam diri seseorang—bukan jawaban, tapi arah. Dan mungkin, dalam kehilangan, ada benih yang diam-diam tumbuh: keberanian untuk menapaki jejak yang belum selesai, dengan langkah yang tak lagi sama.
----------------------------------------------------


Deru sahutan memecah sunyi setiap sudut rumah susun. Pagi datang bukan dengan sinar matahari, tapi dengan hiruk pikuk yang tak kenal jeda. Bukan satu suara, tapi puluhan—beradu, berbenturan, seperti tak ada ruang untuk diam. Di lorong sempit lantai tiga, kompor menyala terburu-buru, panci jatuh membentur lantai seperti dentuman. Pintu kamar mandi digedor, panik dan tidak sabar. Anak-anak menangis, suara mereka bersaing dengan rengekan yang tak selesai—semua demi satu sendok plastik. Udara pagi tak pernah bersih. Ia selalu sesak oleh campuran bau bawang goreng, deterjen sisa cucian, dan kopi instan yang diseduh dengan harapan sisa semalam.

Batuk keras seorang bapak tua pecah dari unit ujung kiri, terdengar serak dan berat, seperti menyimpan sisa-sisa malam yang tak berhasil ia tidurkan. Tak lama, bunyi sapu lidi menyeret debu di koridor, berirama lambat, seakan menyapu bukan hanya kotoran, tapi juga kelelahan yang menempel di lantai sempit itu sejak kemarin. Dari atas, lantai bergetar halus. Mungkin ada yang menyeret galon kosong, mungkin kursi patah yang dipaksa berpindah tempat. Semua bergerak, semua hidup, meski pelan dan penuh bunyi retak.

Dua ibu-ibu berseru dari balkon masing-masing, suara mereka melayang, menyilang di udara yang sesak. “Cabai naik lagi, Bu!” “Iya, arisan sore jadi kan?” Suara mereka terdengar biasa, tapi di baliknya ada ketegangan kecil. Perhitungan dapur yang ketat, utang yang belum lunas, dan keinginan sederhana untuk tetap terlihat kuat.

Seekor kucing kurus mengeong di dekat tangga, menyelusup ke antara kaki-kaki yang lalu-lalang. Ia mengejar sisa nasi dari kantong plastik yang diletakkan di depan pintu unit tetangga—sebungkus belas kasihan yang dibungkus seadanya. Tapi di unit 13, semua suara itu seperti dipendam oleh tembok tipis yang catnya mengelupas, menggantung rapuh seperti sisa-sisa ingatan. Di dalam, hanya ada diam. Bukan diam yang tenang, tapi kekosongan yang berat.

Amar duduk di pinggir tempat tidur, tubuhnya condong ke depan, mata kosong menatap lantai. Ia mendengar keributan dunia luar, tapi semuanya terdengar jauh, seolah berasal dari dunia lain yang tak bisa ia masuki. Di meja kecil dekat jendela, termos air panas masih utuh, berdiri kaku seperti penjaga kesepian. Handuk ibu tergantung di belakang pintu, masih lembap, masih menyimpan sisa hangat tubuh yang kini entah ke mana. Tapi lantai tetap dingin. Tak ada langkah kaki ibu di atas keramik, tak ada suara pelan menyanyi seperti biasanya saat ia menjerang air untuk teh pagi.

Amar tak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana. Waktu terasa beku. Di rak dinding, jam tua berdetak pelan-malas dan berat-seolah ikut memahami bahwa di ruangan ini, tak ada yang perlu diingatkan soal waktu.  Amir menoleh pelan ke arah dapur. Cangkir ibu masih ada di sana, sisa gula menempel di bibirnya. Tak ada yang berubah. Tapi justru itu yang paling menyakitkan—semuanya tetap, kecuali satu hal, ibu tidak lagi di sini.

Tadi malam, ibunya bilang hanya pergi sebentar. “Ke warung dulu, ya. Kamu tidur duluan,” ucapnya sambil merapikan selendang. Suaranya tenang, lembut, seperti biasa, tak memberi isyarat apa pun yang aneh malam itu. Amar hanya mengangguk pelan dari atas kasur, separuh mengantuk, separuh yakin bahwa pagi akan datang seperti biasa. Tapi sekarang sudah pagi. Dan sejak pintu itu tertutup semalam, belum sekali pun terbuka kembali.

Berbagai kemungkinan melintas dalam pikiran Amar. Mungkin ibunya menginap di rumah Bu Tatik, sahabat lamanya di lantai dua. Mungkin hujan menahannya, atau warung belum buka dan ia menunggu lebih lama. Tapi ibu Amar bukan orang yang pergi begitu saja. Bahkan saat listrik padam dan sinyal hilang, ia tetap meninggalkan secarik catatan di meja makan. Tulisan tangan sederhana, kadang hanya satu baris, tapi cukup untuk membuat segalanya terasa aman. Pagi ini tak ada catatan. Tak ada bunyi pintu. Tak ada nyanyian kecil dari dapur.

Amar meraih jaket yang tergantung di balik pintu. Gerakannya lambat, nyaris ragu-ragu. Ia menunduk, meraih sandal jepit di bawah rak sepatu, lalu menyarungkannya pelan. Saat pintu dibuka, deru engsel berderit lirih. Udara dari lorong langsung menyergap. Suasana yang tak berubah, rumah susun tetap hidup seperti ribuan pagi sebelumnya.

Ia menyusuri lorong sempit rumah susun, lantai tiga menuju tangga beton yang dindingnya lusuh, mengelupas, dan dijejali kertas pengumuman yang tanggal huruf-hurufnya sudah pudar. Langkah sandalnya menggesek pelan, mencipta irama ragu yang merayap di antara gema suara dapur, tangis balita, dan bunyi televisi dari kamar-kamar yang terbuka setengah. Di depan unit Bu Tatik, ia berhenti. Tangannya terangkat, namun menggantung di udara. Napasnya pendek, dadanya sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Sebuah gentar yang menolak keluar lewat kata-kata.

Ketukan pelan menghampiri daun pintu. Satu... dua... tiga. Teratur. Nyaris tak menyentuh permukaan dunia.

Tak ada jawaban.

Lorong terus hidup. Anak-anak bertengkar, lagu dangdut menyelusup dari lantai bawah, suara panci jatuh di kejauhan. Tapi dari balik pintu Bu Tatik, hanya diam yang menyambut, dingin dan tak terganggu. Amar mengetuk sekali lagi, kali ini lebih tegas, meski masih ditahan oleh gentar yang merambat dari ujung jari.

Beberapa detik berselang, suara langkah tergesa datang dari dalam. Kunci berputar. Engsel pintu merengek sebentar sebelum membuka setengah jalan. Bu Tatik muncul—berdiri dalam balutan daster bunga pudar dan kerudung yang belum tersusun rapi. Mata tuanya mengerjap, wajahnya tertarik pelan oleh kantuk yang belum sepenuhnya luruh.

“Eh, Amar?” tanyanya, suara serak dan nyaris berbisik. “Ada apa, Nak?”

Amar menunduk. Mulutnya sempat terbuka, tapi suara tertahan di tenggorokan. Saat ia akhirnya bicara, suaranya rapuh, seperti kertas yang terlalu lama digenggam.

“Ibu saya, Bu... Tadi malam pamit ke warung. Cuma sebentar, katanya. Tapi pintu belum terbuka lagi... sampai sekarang.”

Bu Tatik diam sejenak. Matanya mengerjap, seperti mencari sesuatu di wajah Amar, atau mungkin di balik ucapannya.

“Ke warung?” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Tadi malam?”

Ia mengalihkan pandangan, menatap lorong yang masih riuh oleh kehidupan pagi. Sejenak, ia tampak ragu untuk bicara.

Amar menggenggam ujung jaketnya. “Ibu nggak bilang mau ke tempat Bu Tatik, kan?”

Bu Tatik menggeleng pelan, gerakannya lambat, seperti sedang menimbang jawabannya.

“Enggak, Amar. Nggak ke sini,” ujarnya akhirnya. “Saya juga baru bangun... tadi malam nggak dengar apa-apa.”

Jawaban itu terdengar masuk akal, tapi ada jeda yang terlalu panjang, dan nada yang terlalu pelan. Amar memperhatikan kerutan di kening Bu Tatik, matanya yang bergerak-gerak cepat, dan tangan kirinya yang menggenggam kain daster terlalu erat.

“Saya sempat keluar jam sepuluh malam,” lanjut Bu Tatik. “Mau buang sampah. Tapi nggak lihat siapa-siapa di lorong. Sepi.”

Amar menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. “Saya coba tanya ke warung, ya?” katanya dengan suara nyaris bergetar.

Bu Tatik mengangguk, tapi cepat-cepat menambahkan, “Tapi kalaupun ke warung, biasanya juga nggak sampai pagi, ya?”

Nada suaranya berubah. Kalimatnya tak benar-benar bertanya, juga bukan pernyataan. Lebih seperti bisikan hati yang bocor keluar. Amar menatap wajah Bu Tatik sejenak. Sorot mata tidak bisa berbohong.

“Kalau Ibu kamu balik nanti, langsung kabari saya, ya?” tambah Bu Tatik, buru-buru. “Langsung ketok saja pintunya.”

Amar hanya mengangguk. Tak sepenuhnya mendengar. Ia menatap pintu yang kini bisu. Dadanya terasa makin berat. Langit-langit lorong terlihat lebih rendah, udaranya lebih padat. Ia berdiri diam cukup lama sebelum akhirnya melangkah turun ke lantai satu, menuju warung.Sinar matahari pagi menyusup lewat jendela kecil tangga, tapi tak cukup hangat untuk mengusir rasa dingin di punggungnya.

***

Tangga menuju lantai satu terasa lebih sempit dari biasanya. Cahaya pagi menyelinap di sela-sela besi pengaman, menyorot dinding kusam yang tak sepenuhnya terjaga. Sinar itu mengguratkan bayangan-bayangan panjang yang bergerak lirih setiap kali Amar melangkah.

Langkahnya lamban, irama jantungnya tak lagi teratur. Keresahan kecil menggema di rongga-rongga diam. Di tiap anak tangga, tumbuh harapan kecil, ibunya akan muncul di ujung lorong, membawa kantong belanja, menggerutu pelan karena Amar lupa menutup jendela atau lupa makan malam. Namun, lantai satu tetap enggan menawarkan keajaiban. Ia tetap bising dan asing.

Warung kecil di sudut lorong sudah menampakkan denyutnya. Bangunan dari triplek yang renta, dindingnya sarat oleh tempelan iklan pulsa, catatan utang, dan daftar belanja harian yang dijepit penjepit baju karatan. Bau minyak goreng hangus dan kopi bubuk murahan memenuhi udara laksana kabut tak kasatmata yang menetap.

Bu Lela, pemilik warung, tengah menata telur di rak plastik yang mulai melengkung. Wajahnya dibalut minyak dan kantuk, namun matanya belum kehilangan benih keramahan.

“Eh, Amar. Pagi, Nak.”

“Pagi, Bu.” Suara Amar nyaris tak terdengar.

“Cari apa? Roti masih utuh, galon baru datang menjelang subuh.”

Amar diam sejenak, ragu untuk menambatkan kata. Lalu ia bertanya, dengan suara kecil yang nyaris pecah, “Semalam… Ibu saya sempat ke sini, Bu?”

Tangan Bu Lela berhenti. Pandangannya terangkat perlahan, mencoba menyibak kenangan malam yang telah lewat.

“Malam, ya? Hmm... yang mampir cuma Mas Anwar, beli rokok. Sama anak kos dari blok G... Ibunya kamu? Nggak. Nggak kelihatan.”

Amar mengangguk sembari mengelus perut. Tempat organ dalam itu diremas kuat oleh udara dingin yang merayap tanpa ampun.

Bu Lela mengerutkan alis, nadanya kini tak lagi ringan. “Kenapa, Mar? Ibu kamu belum balik?”

“Iya. Katanya cuma ke warung. Tapi pintu nggak terbuka lagi sejak semalam.”

Ada jeda. Panjang. Sunyi yang tak nyaman menyelubungi mereka. Bu Lela menarik napas perlahan. Matanya menatap ke arah lorong luar, ke koridor kosong yang sejak pagi tak juga berubah.

“Semalam ada pemadaman, kan,” ujarnya perlahan. “Mulai jam sembilan... gelap sampai hampir tengah malam. Saya sempat dengar sesuatu. Suara langkah tergesa... entah siapa. Ada yang mengetuk—pelan... lama. Tapi saya tak berani buka. Dunia sedang tak ramah.”

“Jam berapa?” bisik Amar, suaranya berat oleh firasat.

“Lewat sepuluh sedikit. Sunyi sekali waktu itu... Ketukannya terdengar ragu... nyaris seperti permintaan maaf.”

Amar tak bergerak. Tubuhnya diam, tapi di dalam, sesuatu mulai retak. Matanya kehilangan titik tumpu, dan udara tak lagi terasa di paru-parunya.

“Kamu udah coba ke blok sebelah?” tanya Bu Lela kemudian.

“Belum.”

“Mau saya temani?”

Amar menggeleng pelan. Kakinya melangkah keluar dari warung, kembali menyusuri lorong kebisingan. Sampai di dekat tangga blok B, langkahnya terhenti. Lirikan netranya menangkap sesuatu di bawah kursi semen yang sering dipakai satpam duduk merokok—sepotong kain tipis berwarna hijau pucat, terselip sebagian, nyaris tak terlihat. Amar menunduk. Tangannya meraih perlahan, jari-jarinya gemetar saat menyentuh ujungnya. Itu selendang ibunya.

Ia mengenalnya. Warna yang agak pudar, bau samar khas ibunya melekat di sana—minyak rambut kelapa dan bunga melati kering. Amar menggenggam kain itu. Nafasnya tercekat. Ibunya tak pernah lepas selendang kalau pergi sebentar. Bahkan ke warung pun dibawanya, disampirkan di bahu atau dilipat di dalam tas kecil.

Tapi ini... tergeletak di bawah kursi semen. Kotor, lembap, dan ditinggalkan.

Suara langkah seseorang membuat Amar menoleh. Seorang pria tua mendorong gerobak sampah melewatinya, tak peduli. Dunia tetap berjalan. Amar menggenggam selendang itu lebih erat, lalu berjalan tak tentu arah.

***

Lorong sempit di pojok rumah susun menyita perhatian Amar. Ujungnya buntu, hanya berisi ruangan kosong bekas gudang warga. Tapi detik itu, pintu besi yang menghalangi orang masuk, terbuka.

Amar melangkah pelan. Selendang ibunya masih tergenggam di tangan. Tangannya menyentuh gagang pintu dingin itu, mendorong perlahan. Engselnya berdecit panjang, memecah kesunyian yang menggantung seperti kabut.

Di dalam, hanya ada gelap. Cahaya tipis dari jendela kecil di atas memaksa masuk, cukup untuk melihat bentuk-bentuk samar. Rak kayu reot, kardus kosong, potongan ubin rusak. Di pojok ruangan, ada meja tua dengan laci terbuka.

Amar melangkah mendekat. Sesaat nafasnya tertahan. Sesuatu di atas meja membuat bulu kuduknya naik. Bingkai foto tua, berdebu, hampir pudar. Wajah di dalamnya masih bisa dikenali—perempuan muda dengan senyum rapuh, yang sangat mirip dengan ibunya. Tetapi, bukan itu yang paling membuatnya bergidik.

Di sebelah foto, ada sebuah buku harian kecil dengan sampul coklat lusuh. Amar meraihnya, membalik halaman pertama. Tulisan tangan tipis, dengan tinta yang mulai luntur.

Tangan Amar gemetar. Ia membaca ulang baris itu, lalu membuka halaman berikutnya, dan yang berikutnya. Semuanya ditulis oleh seseorang—oleh ibunya—tentang tempat ini. Tentang seorang anak yang pernah ditinggalkan. Tentang kehilangan. Tentang janji yang dilanggar dan dosa yang tidak bisa ditebus.

Amar menarik napas panjang. Dunia di sekelilingnya berubah. Lorong-lorong rumah susun itu tak lagi sekadar ruang hidup, tapi labirin masa lalu yang belum selesai dibersihkan.

Ibunya… bukan hanya pergi semalam.

 *** TAMAT***



 WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak menyalin dan menjiplak apa pun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem sastra yang baik di tanah air. Terima kasih.

TTD

Van Raja


 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selumbari untuk Lusa

Anak F

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *