Ibu Lupa Pulang
Deru sahutan memecah
sunyi setiap sudut rumah susun. Pagi datang bukan dengan sinar matahari, tapi
dengan hiruk pikuk yang tak kenal jeda. Bukan satu suara, tapi puluhan—beradu,
berbenturan, seperti tak ada ruang untuk diam. Di lorong sempit lantai tiga,
kompor menyala terburu-buru, panci jatuh membentur lantai seperti dentuman.
Pintu kamar mandi digedor, panik dan tidak sabar. Anak-anak menangis, suara
mereka bersaing dengan rengekan yang tak selesai—semua demi satu sendok plastik.
Udara pagi tak pernah bersih. Ia selalu sesak oleh campuran bau bawang goreng,
deterjen sisa cucian, dan kopi instan yang diseduh dengan harapan sisa semalam.
Batuk keras seorang
bapak tua pecah dari unit ujung kiri, terdengar serak dan berat, seperti
menyimpan sisa-sisa malam yang tak berhasil ia tidurkan. Tak lama, bunyi sapu
lidi menyeret debu di koridor, berirama lambat, seakan menyapu bukan hanya
kotoran, tapi juga kelelahan yang menempel di lantai sempit itu sejak kemarin. Dari
atas, lantai bergetar halus. Mungkin ada yang menyeret galon kosong, mungkin
kursi patah yang dipaksa berpindah tempat. Semua bergerak, semua hidup, meski
pelan dan penuh bunyi retak.
Dua ibu-ibu berseru
dari balkon masing-masing, suara mereka melayang, menyilang di udara yang
sesak. “Cabai naik lagi, Bu!” “Iya, arisan sore jadi kan?” Suara mereka
terdengar biasa, tapi di baliknya ada ketegangan kecil. Perhitungan dapur yang
ketat, utang yang belum lunas, dan keinginan sederhana untuk tetap terlihat
kuat.
Seekor kucing kurus
mengeong di dekat tangga, menyelusup ke antara kaki-kaki yang lalu-lalang. Ia
mengejar sisa nasi dari kantong plastik yang diletakkan di depan pintu unit
tetangga—sebungkus belas kasihan yang dibungkus seadanya. Tapi di unit 13,
semua suara itu seperti dipendam oleh tembok tipis yang catnya mengelupas,
menggantung rapuh seperti sisa-sisa ingatan. Di dalam, hanya ada diam. Bukan
diam yang tenang, tapi kekosongan yang berat.
Amar duduk di
pinggir tempat tidur, tubuhnya condong ke depan, mata kosong menatap lantai. Ia
mendengar keributan dunia luar, tapi semuanya terdengar jauh, seolah berasal
dari dunia lain yang tak bisa ia masuki. Di meja kecil dekat jendela, termos
air panas masih utuh, berdiri kaku seperti penjaga kesepian. Handuk ibu
tergantung di belakang pintu, masih lembap, masih menyimpan sisa hangat tubuh
yang kini entah ke mana. Tapi lantai tetap dingin. Tak ada langkah kaki ibu di
atas keramik, tak ada suara pelan menyanyi seperti biasanya saat ia menjerang
air untuk teh pagi.
Amar tak tahu sudah
berapa lama ia duduk di sana. Waktu terasa beku. Di rak dinding, jam tua
berdetak pelan-malas dan berat-seolah ikut memahami bahwa di ruangan ini, tak
ada yang perlu diingatkan soal waktu.
Amir menoleh pelan ke arah dapur. Cangkir ibu masih ada di sana, sisa
gula menempel di bibirnya. Tak ada yang berubah. Tapi justru itu yang paling
menyakitkan—semuanya tetap, kecuali satu hal, ibu tidak lagi di sini.
Tadi malam, ibunya
bilang hanya pergi sebentar. “Ke warung dulu, ya. Kamu tidur duluan,” ucapnya
sambil merapikan selendang. Suaranya tenang, lembut, seperti biasa, tak memberi
isyarat apa pun yang aneh malam itu. Amar hanya mengangguk pelan dari atas
kasur, separuh mengantuk, separuh yakin bahwa pagi akan datang seperti biasa. Tapi
sekarang sudah pagi. Dan sejak pintu itu tertutup semalam, belum sekali pun
terbuka kembali.
Berbagai kemungkinan
melintas dalam pikiran Amar. Mungkin ibunya menginap di rumah Bu Tatik, sahabat
lamanya di lantai dua. Mungkin hujan menahannya, atau warung belum buka dan ia
menunggu lebih lama. Tapi ibu Amar bukan orang yang pergi begitu saja. Bahkan
saat listrik padam dan sinyal hilang, ia tetap meninggalkan secarik catatan di
meja makan. Tulisan tangan sederhana, kadang hanya satu baris, tapi cukup untuk
membuat segalanya terasa aman. Pagi ini tak ada catatan. Tak ada
bunyi pintu. Tak ada nyanyian kecil dari dapur.
Amar meraih jaket
yang tergantung di balik pintu. Gerakannya lambat, nyaris ragu-ragu. Ia menunduk,
meraih sandal jepit di bawah rak sepatu, lalu menyarungkannya pelan. Saat pintu
dibuka, deru engsel berderit lirih. Udara dari lorong langsung menyergap.
Suasana yang tak berubah, rumah susun tetap hidup seperti ribuan pagi
sebelumnya.
Ia menyusuri lorong
sempit rumah susun, lantai tiga menuju tangga beton yang dindingnya lusuh,
mengelupas, dan dijejali kertas pengumuman yang tanggal huruf-hurufnya sudah
pudar. Langkah sandalnya menggesek pelan, mencipta irama ragu yang merayap di
antara gema suara dapur, tangis balita, dan bunyi televisi dari kamar-kamar
yang terbuka setengah. Di depan unit Bu Tatik, ia berhenti. Tangannya
terangkat, namun menggantung di udara. Napasnya pendek, dadanya sesak oleh
sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Sebuah gentar yang menolak keluar lewat
kata-kata.
Ketukan pelan
menghampiri daun pintu. Satu... dua... tiga. Teratur. Nyaris tak menyentuh
permukaan dunia.
Tak ada jawaban.
Lorong terus hidup.
Anak-anak bertengkar, lagu dangdut menyelusup dari lantai bawah, suara panci
jatuh di kejauhan. Tapi dari balik pintu Bu Tatik, hanya diam yang menyambut,
dingin dan tak terganggu. Amar mengetuk sekali lagi, kali ini lebih tegas,
meski masih ditahan oleh gentar yang merambat dari ujung jari.
Beberapa detik
berselang, suara langkah tergesa datang dari dalam. Kunci berputar. Engsel
pintu merengek sebentar sebelum membuka setengah jalan. Bu Tatik muncul—berdiri
dalam balutan daster bunga pudar dan kerudung yang belum tersusun rapi. Mata
tuanya mengerjap, wajahnya tertarik pelan oleh kantuk yang belum sepenuhnya
luruh.
“Eh, Amar?”
tanyanya, suara serak dan nyaris berbisik. “Ada apa, Nak?”
Amar menunduk.
Mulutnya sempat terbuka, tapi suara tertahan di tenggorokan. Saat ia akhirnya
bicara, suaranya rapuh, seperti kertas yang terlalu lama digenggam.
“Ibu saya, Bu...
Tadi malam pamit ke warung. Cuma sebentar, katanya. Tapi pintu belum terbuka
lagi... sampai sekarang.”
Bu Tatik diam
sejenak. Matanya mengerjap, seperti mencari sesuatu di wajah Amar, atau mungkin
di balik ucapannya.
“Ke warung?”
gumamnya, nyaris tak terdengar. “Tadi malam?”
Ia mengalihkan
pandangan, menatap lorong yang masih riuh oleh kehidupan pagi. Sejenak, ia
tampak ragu untuk bicara.
Amar menggenggam
ujung jaketnya. “Ibu nggak bilang mau ke tempat Bu Tatik, kan?”
Bu Tatik menggeleng
pelan, gerakannya lambat, seperti sedang menimbang jawabannya.
“Enggak, Amar. Nggak
ke sini,” ujarnya akhirnya. “Saya juga baru bangun... tadi malam nggak dengar
apa-apa.”
Jawaban itu
terdengar masuk akal, tapi ada jeda yang terlalu panjang, dan nada yang terlalu
pelan. Amar memperhatikan kerutan di kening Bu Tatik, matanya yang
bergerak-gerak cepat, dan tangan kirinya yang menggenggam kain daster terlalu
erat.
“Saya sempat keluar
jam sepuluh malam,” lanjut Bu Tatik. “Mau buang sampah. Tapi nggak lihat
siapa-siapa di lorong. Sepi.”
Amar menelan ludah.
Tenggorokannya terasa kering. “Saya coba tanya ke warung, ya?” katanya dengan
suara nyaris bergetar.
Bu Tatik mengangguk,
tapi cepat-cepat menambahkan, “Tapi kalaupun ke warung, biasanya juga nggak
sampai pagi, ya?”
Nada suaranya
berubah. Kalimatnya tak benar-benar bertanya, juga bukan pernyataan. Lebih
seperti bisikan hati yang bocor keluar. Amar menatap wajah Bu Tatik sejenak.
Sorot mata tidak bisa berbohong.
“Kalau Ibu kamu
balik nanti, langsung kabari saya, ya?” tambah Bu Tatik, buru-buru. “Langsung
ketok saja pintunya.”
Amar hanya
mengangguk. Tak sepenuhnya mendengar. Ia menatap pintu yang kini bisu. Dadanya
terasa makin berat. Langit-langit lorong terlihat lebih rendah, udaranya lebih
padat. Ia berdiri diam cukup lama sebelum akhirnya melangkah turun ke lantai
satu, menuju warung.Sinar matahari pagi menyusup lewat jendela kecil tangga,
tapi tak cukup hangat untuk mengusir rasa dingin di punggungnya.
Baca Cerpen Lainnya
***
Tangga menuju lantai
satu terasa lebih sempit dari biasanya. Cahaya pagi menyelinap di sela-sela
besi pengaman, menyorot dinding kusam yang tak sepenuhnya terjaga. Sinar itu
mengguratkan bayangan-bayangan panjang yang bergerak lirih setiap kali Amar
melangkah.
Langkahnya lamban, irama
jantungnya tak lagi teratur. Keresahan kecil menggema di rongga-rongga diam. Di
tiap anak tangga, tumbuh harapan kecil, ibunya akan muncul di ujung lorong,
membawa kantong belanja, menggerutu pelan karena Amar lupa menutup jendela atau
lupa makan malam. Namun, lantai satu tetap enggan menawarkan keajaiban. Ia
tetap bising dan asing.
Warung kecil di
sudut lorong sudah menampakkan denyutnya. Bangunan dari triplek yang renta,
dindingnya sarat oleh tempelan iklan pulsa, catatan utang, dan daftar belanja
harian yang dijepit penjepit baju karatan. Bau minyak goreng hangus dan kopi
bubuk murahan memenuhi udara laksana kabut tak kasatmata yang menetap.
Bu Lela, pemilik
warung, tengah menata telur di rak plastik yang mulai melengkung. Wajahnya
dibalut minyak dan kantuk, namun matanya belum kehilangan benih keramahan.
“Eh, Amar. Pagi,
Nak.”
“Pagi, Bu.” Suara
Amar nyaris tak terdengar.
“Cari apa? Roti
masih utuh, galon baru datang menjelang subuh.”
Amar diam sejenak,
ragu untuk menambatkan kata. Lalu ia bertanya, dengan suara kecil yang nyaris
pecah, “Semalam… Ibu saya sempat ke sini, Bu?”
Tangan Bu Lela
berhenti. Pandangannya terangkat perlahan, mencoba menyibak kenangan malam yang
telah lewat.
“Malam, ya? Hmm...
yang mampir cuma Mas Anwar, beli rokok. Sama anak kos dari blok G... Ibunya
kamu? Nggak. Nggak kelihatan.”
Amar mengangguk sembari
mengelus perut. Tempat organ dalam itu diremas kuat oleh udara dingin yang
merayap tanpa ampun.
Bu Lela mengerutkan
alis, nadanya kini tak lagi ringan. “Kenapa, Mar? Ibu kamu belum balik?”
“Iya. Katanya cuma
ke warung. Tapi pintu nggak terbuka lagi sejak semalam.”
Ada jeda. Panjang.
Sunyi yang tak nyaman menyelubungi mereka. Bu Lela menarik napas perlahan.
Matanya menatap ke arah lorong luar, ke koridor kosong yang sejak pagi tak juga
berubah.
“Semalam ada
pemadaman, kan,” ujarnya perlahan. “Mulai jam sembilan... gelap sampai hampir
tengah malam. Saya sempat dengar sesuatu. Suara langkah tergesa... entah siapa.
Ada yang mengetuk—pelan... lama. Tapi saya tak berani buka. Dunia sedang tak
ramah.”
“Jam berapa?” bisik
Amar, suaranya berat oleh firasat.
“Lewat sepuluh
sedikit. Sunyi sekali waktu itu... Ketukannya terdengar ragu... nyaris seperti
permintaan maaf.”
Amar tak bergerak.
Tubuhnya diam, tapi di dalam, sesuatu mulai retak. Matanya kehilangan titik
tumpu, dan udara tak lagi terasa di paru-parunya.
“Kamu udah coba ke
blok sebelah?” tanya Bu Lela kemudian.
“Belum.”
“Mau saya temani?”
Amar menggeleng
pelan. Kakinya melangkah keluar dari warung, kembali menyusuri lorong kebisingan.
Sampai di dekat tangga blok B, langkahnya terhenti. Lirikan netranya menangkap
sesuatu di bawah kursi semen yang sering dipakai satpam duduk merokok—sepotong
kain tipis berwarna hijau pucat, terselip sebagian, nyaris tak terlihat. Amar
menunduk. Tangannya meraih perlahan, jari-jarinya gemetar saat menyentuh
ujungnya. Itu selendang ibunya.
Ia mengenalnya.
Warna yang agak pudar, bau samar khas ibunya melekat di sana—minyak rambut
kelapa dan bunga melati kering. Amar menggenggam kain itu. Nafasnya tercekat. Ibunya
tak pernah lepas selendang kalau pergi sebentar. Bahkan ke warung pun
dibawanya, disampirkan di bahu atau dilipat di dalam tas kecil.
Tapi ini...
tergeletak di bawah kursi semen. Kotor, lembap, dan ditinggalkan.
Suara langkah
seseorang membuat Amar menoleh. Seorang pria tua mendorong gerobak sampah
melewatinya, tak peduli. Dunia tetap berjalan. Amar menggenggam selendang itu
lebih erat, lalu berjalan tak tentu arah.
Baca Cerpen Lainnya
***
Lorong sempit di
pojok rumah susun menyita perhatian Amar. Ujungnya buntu, hanya berisi ruangan
kosong bekas gudang warga. Tapi detik itu, pintu besi yang menghalangi orang
masuk, terbuka.
Amar melangkah
pelan. Selendang ibunya masih tergenggam di tangan. Tangannya menyentuh gagang
pintu dingin itu, mendorong perlahan. Engselnya berdecit panjang, memecah
kesunyian yang menggantung seperti kabut.
Di dalam, hanya ada
gelap. Cahaya tipis dari jendela kecil di atas memaksa masuk, cukup untuk
melihat bentuk-bentuk samar. Rak kayu reot, kardus kosong, potongan ubin rusak.
Di pojok ruangan, ada meja tua dengan laci terbuka.
Amar melangkah
mendekat. Sesaat nafasnya tertahan. Sesuatu di atas meja membuat bulu kuduknya
naik. Bingkai foto tua, berdebu, hampir pudar. Wajah di dalamnya masih bisa
dikenali—perempuan muda dengan senyum rapuh, yang sangat mirip dengan ibunya. Tetapi,
bukan itu yang paling membuatnya bergidik.
Di sebelah foto, ada
sebuah buku harian kecil dengan sampul coklat lusuh. Amar meraihnya, membalik
halaman pertama. Tulisan tangan tipis, dengan tinta yang mulai luntur.
Tangan Amar gemetar.
Ia membaca ulang baris itu, lalu membuka halaman berikutnya, dan yang
berikutnya. Semuanya ditulis oleh seseorang—oleh ibunya—tentang tempat ini.
Tentang seorang anak yang pernah ditinggalkan. Tentang kehilangan. Tentang
janji yang dilanggar dan dosa yang tidak bisa ditebus.
Amar menarik napas
panjang. Dunia di sekelilingnya berubah. Lorong-lorong rumah susun itu tak lagi
sekadar ruang hidup, tapi labirin masa lalu yang belum selesai dibersihkan.
Ibunya… bukan hanya
pergi semalam.
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak menyalin dan menjiplak apa pun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem sastra yang baik di tanah air. Terima kasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar