Nyanyian Lampu Merah

 

Nyanyian Lampu Merah


Mereka adalah dewa-dewi urban yang mengilhami decak kagum. Melanglang bak bedaya elit di tengah puak permata kota. Busana mereka adalah karya subtil marak yang merangkai kisah keberhasilan. Aksesoris mereka adalah mahakarya yang menyigi keterandalan tak tersuruk. Mobil-mobil glamor mereka adalah karya seni bergerak, sementara harta mereka licau dalam susunan logam dan kaca. Restoran-restoran mewah menjalir gelak dan alai-belai bisnis, mengisbatkan konformitas kemakmuran. Injeksi seteguk anggur meradukan eliksir keabadian yang mereka nikmati dengan hasrat ulung.


Kehidupan para konglomerat di jantung perkotaan adalah sebuah kisah epik, terpatri dalam kebesaran batu nisan metropolis. Di balik jantung kota yang mengoja kehidupan orang-orang terpandang, ada kisah lain yang menyuruk dan sering kali terjerahak. Sudut-sudut jalanan yang nyenyat menjadi spektator panorama  anak-anak jalanan yang marak dalam santiran kesejahteraan, yang dipertontonkan para konglomerat. Mereka adalah pemilik dirgantara jalanan yang ganyar, merayakan kehidupan elementer penuh sukma.

Mereka tidak mengenakan busana mewah juga aksesoris berharga. Hanya petala pakaian lusuh yang mereka anggap proteksi dari dinginnya malam kota menyerkup tubuh. Di keramaian jalanan, mereka meranya rezeki dengan segala cara demi sepiring nasi yang hangat. Kehidupan anak jalanan adalah sebuah realitas yang tegar, sebuah cerita yang terjalin di bawah lapisan kota yang glamor. 

"Kamu sudah dapat duit berapa? Kotak yang kamu pegang terlihat padat," seru seorang anak kecil. Anak itu melingkarkan jubah kumuh, kainnya penuh rengkahan. Kaki telanjangnya menggodot jalanan yang penuh debu, sementara wajahnya dipenuhi bekas tapak pengembaraan persisten.

Temannya menenggak ludah, sesekali memangir peluh yang mengumbah roman. "Aku belum dapat sepeser pun," ucapnya lirih, "Ini hanya buku kecil yang kutemukan di selokan depan sekolah yang kita lewati tadi." Sambil merenjeng lidah, ia menunjukkan buku kecil dengan sisi lembap dari dalam kotak, menghadirkan bau lumpur yang memanggang naluri.

"Buku itu apa, Sep?"  Pembicaraan berlanjut, nama anak kecil penemu buku itu Asep.

Asep memandang temannya, Tony, lamat-lamat. Perasaan sedih terbesit, menyadari ketertinggalan mereka dalam dunia pendidikan. Mereka terperosok dalam gelung kehidupan penuh pekerjaan kasar dan pengorbanan, melawan arus keras tiap detik. Pendidikan adalah mimpi yang menjulang tinggi, seperti bintang-bintang di langit yang tak terjangkau. Mereka belajar lewat pengalaman hidup, dari melanglang di jalanan.

Buku hanyalah sesuatu yang abstrak. Pikiran mereka tak mampu mencerna. Bentuknya adalah misteri, apakah itu selembar kertas dengan kata-kata atau sesuatu yang lebih dari sekadar benda mati.

"Buku adalah mata air pengetahuan," ujar Asep penuh intensi, seraya menabalkan buku kecil itu tinggi-tinggi di atas kepala. "Ini adalah jendela menuju dunia yang tak terhingga. Bayangkan saja, meski buku ini mungil, ia mampu mengubah alam semesta itu sendiri."

Tony terkekeh. Baginya, impian Asep terlalu tinggi untuk dicapai anak miskin seperti mereka. Memenuhi perut saja butuh usaha keras, apalagi mengubah takdir dunia yang luas. "Asep, kamu selalu punya mimpi besar," balas Tony sambil menepuk pundak Asep. Langkahnya mulai beranjak untuk mencari sesuap nasi di tempat lain.

Asep mengernyitkan dahi, bingung melihat tawa Tony yang tiba-tiba. Dia ikut beranjak, kembali menantang kehidupan yang berat itu.


Baca juga ; Tentang Kamu 


***

"Apakah aku boleh bernyanyi untuk kalian?" Tanya Asep sambil melambai dari luar jendela mobil yang terhenti di lampu merah. Dia merakit senyum, memendam erak yang membatin dalam diri.

Tony mengoja diri mencatuk kaca jendela. Netranya yang penuh kerendahan hati mencerminkan harapannya. "Kami bisa bernyanyi sesuai rekomendasi dari kalian." tambah Tony, mencoba menarik perhatian para penumpang di dalam mobil mewah itu.

Lima menit berlalu, usaha kedua sahabat itu gagal. Lampu bidis warna menjadi hijau, mobil yang bersisurut tentatif mulai merayap santer. Asep mendudukkan diri di selokan tepi jalan, menanti lampu merah berpijar kembali. Bernyanyi dari satu jendela mobil ke jendela yang lain adalah aktivitas mereka tiap hari, sumber harapan hidup di dunia. 

Asep menilik Tony yang memarih tegak di tubir jalan. "Duduklah sejenak, Tony. Simpan tenagamu untuk lampu merah berikutnya," seru Asep yang dibalas Tony dengan anggukkan kepala. Mereka berdua duduk di tepi jalan yang ramai. Melepaskan beban sejenak sembari merasakan hembusan angin kota yang terus berlalu.

Beberapa menit berselang, lampu merah berikutnya kembali murup. Beriring gelora tiada takat, Asep dan Tony menegakkan diri, siap menyinambungkan pertunjukan di antara jendela-jendela mobil yang berhenti. 

Sebuah mobil merah menarik perhatian Asep dan Tony. Keduanya menyelia seorang anak perempuan seusia mereka, mengenakan pakaian mewah, seakan-akan dia adalah puteri kerajaan. Wajahnya anggun terawat, gambaran keindahan yang belum pernah mereka temui di jalanan kota. Asep dan Tony bersilih pandang, sukar menyekap atmosfer kekaguman. Keduanya karut pada takdir yang mengirim perempuan cantik ke dunia keras mereka.

"Maaf, apakah kami boleh bernyanyi untuk kalian? Kalian boleh merekomendasikan lagu yang kalian suka," tanya Asep penuh kegugupan.

Anak perempuan itu mengalihkan pandangan, memberi kesempatan pada orang tua yang duduk di depan mobil untuk memutuskan. "Bagaimana pendapat kalian, Ayah, Ibu?" tanyanya pelan.

Ibu anak perempuan itu menilik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sesaat ia tersadar pergantian lampu lalu lintas masih beberapa menit lagi. Mendengarkan nyanyian sepertinya bukan pilihan yang buruk. Ia mengangguk setuju.

Asep dan Tony mengukir senyum, merasa diberi kesempatan berbagi kebahagiaan dengan keluarga itu. Lantunan suara merdu mulai mengalun dalam harmoni yang indah, memecah hiruk pikuk perkotaan. Anak perempuan itu tersungging arkian berfusi dalam nyanyian kedua anak jalanan.

"Aku suka lagu ini. Terima kasih sudah menyanyikannya."

"Kami senang bisa menyenangkanmu. Kamu punya suara yang bagus," puji Asep.

"Terima kasih, tapi suara kalian berdua jauh lebih bagus."

Mereka terbahak ramai. Selama beberapa menit, dunia yang keras di sekitar mereka serasa padam. Kebahagiaan sederhana yang mereka rasakan bersama-sama menjadi obat penangkal. Pertemuan yang tak terduga, di mana dua dunia yang berbeda sementara waktu bersatu dalam musik dan senyum.

Asep dan Tony terus bergelut dalam waktu yang mepet. Meniti keringat dari luar jendela mobil, menguntai nyanyian indah yang menyennagkan banyak orang. Mereka tahu bahwa di sana, di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang padat, mungkin ada harapan yang menunggu untuk terbuka, meskipun dalam kebersamaan sederhana mereka. Nyanyian lampu merah terus menggema, menyiratkan perjuangan dua anak jalanan dalam hidup yang fana.

**TAMAT**

Baca juga: Ma, Aku Rindu

WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.

TTD

Van Raja


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konstruksi Sistem: Pengertian, Tujuan, dan Langkah-Langkah

(CERPEN) Senja di Angkringan

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *