Anak F

 

Anak F

----------------------------------

Seorang pemuda menapaki perjalanan baru yang penuh tantangan di tengah batas tipis antara harapan dan keraguan. Berteman si “sosok tegas”, ia belajar bahwa setiap perjuangan menyimpan arti. Di hadapan pintu kesempatan emas itu, ia berdiri dengan keyakinan, siap menempuh jalan yang belum tentu ramah, namun penuh janji bagi mereka yang berani melangkah.

---------------------------------

Sejak tadi, matahari malu-malu mengintip dari sela gunung yang menjulang tinggi. Cahaya jingganya yang lembut berhasil menyiram halaman asrama yang masih lengang. Warna-warna hangat mulai merambat di langit, perlahan mengusir sisa-sisa gelap malam. Udara pagi menusuk kulit, dinginnya merayap hingga ke tulang. Embun yang menggantung di ujung dedaunan menciptakan kilauan kecil, laksana berlian tersentuh sinar matahari. Aroma khas pagi hari tercium, perpaduan antara tanah basah. Angin segar juga berembus lembut sedari tadi.

Burung-burung kecil mulai bersiul pelan dari dahan pohon di sekitar asrama. Dari kejauhan, suara air sungai yang mengalir lembut terdengar samar-samar. Keheningan pagi itu terasa magis, seperti sebuah momen langka yang hanya diberikan oleh alam sebelum manusia benar-benar terjaga dari tidurnya.

Bangunan asrama berdiri kokoh dengan dinding-dinding putihnya yang mulai memantulkan cahaya matahari. Jendela-jendela beberapa kamar masih tertutup rapat, menandakan bahwa para penghuni asrama masih terlelap. Ya, menikmati sisa-sisa kehangatan selimut di pagi yang dingin ini.

Seorang pemuda berbadan tinggi sedang berjalan di sekitar koridor asrama. Terlihat dari sudut matanya, ia masih terkantuk-kantuk tanda baru dusin tidur. Seraya mengandung air di genggamannya dengan gayung, ia melangkah pasti. Pemuda itu tiba di pintu kamar pertama. Ia mulai mengetuk pintu dengan lantang. Seperti biasa, hampir selalu tak ada timbalan dari si penghuni kamar. Pemuda tadi menguak pintu secara paksa hingga terbuka.  

"Kling," suara resik pintu yang bejat menghiasi pagi ini. Melihat tak ada reaksi apa-apa dari penunggu kamar, pemuda tadi mulai meluncurkan senjata keduanya. Mulailah ia menyirami para putra malu itu dengan air hingga mereka dusin tidur.

"Uaah," pekikku lantang. Itu adalah ujaran yang selalu terlantun setelah terjaga cukup lama. Selayaknya orang yang tercap sebagai anak asrama, bangun pukul setengah lima sudah menjadi kewajiban. 

Aku tak urung berdoa pada sang Maha Kuasa, agar satu hari ini aku tak putus dalam naungan-Nya. Setelah itu, aku bergegas mengapikkan tempat tidur, melipat selimut, dan membebatkannya pada bantal yang di selubung sprei bercorak cenderawasih. Tak lupa pula menghaluskan kerutan-kerutan yang terekat di sekeliling tubuh pembungkus kasur itu. Tanpa menunggu matahari meninggi, aku segera beringsut menuju kamar mandi. 

Langkah kakiku perlahan menyusuri koridor, menyapa udara dingin pagi yang masih melekat di sekeliling asrama. Hari ini baru saja dimulai, dan aku siap menghadapi segala rutinitas yang menanti. Namun, layaknya ratusan pagi yang sama, aku tahu  satu tantangan utama yang harus kulewati sebelum memulai hari. Antrean kamar mandi.

Beberapa anak asrama sudah berdiri lebih dulu di depan kamar mandi. Terlihat wajah setengah mengantuk masih terhias, berteman aroma pasta gigi dan sabun di udara.

"Kamar mandi nomor lima kok lama banget mandinya? Jangan bilang kalau kau sedang mandi kembang di dalam sana," ucap seorang teman di depan antrean. Kami semua tertawa terbahak-bahak.

Aku menyandarkan tubuh ke dinding sambil memeluk handuk di dada. Udara pagi ini cukup dingin. Sesekali aku melirik pintu kamar mandi yang tertutup rapat, berharap tanda-tanda selesai mandi segera muncul. Di sela menunggu, obrolan ringan mengalir di antara kami. Apalagi kalau bukan tugas sekolah, pohon alpukat depan kompleks yang mulai matang, atau sekedar lelucon yang memancing tawa. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka dan giliranku untuk mandi pun tiba.

***

"Semuanya baris segera!" pekik Frater. "Kita apel pagi hari ini" 

Frater adalah seorang biarawan yang mengabdikan hidupnya dalam pelayanan tanpa keinginan untuk menikah. Di mata kami, anak-anak asrama, ia adalah sosok yang selalu hadir di setiap momen penting dalam hidup kami. Frater adalah pembimbing dan penggembala kami di asrama. Dialah pemuda dengan segayung air di genggamannya setiap pagi. Air itu bukan untuk diminum, melainkan jadi alarm yang tak pernah gagal membangunkan kami yang malas bangun pagi. Air dingin itu sering kali menjadi pengingat yang efektif, walaupun kami sering mengeluh karena merasa terganggu.

Apel dimulai. Kedua netra pemimpin asrama itu bergerak tajam. Memancarkan sorot mata bak ular piton yang dihadapkan pada pilihan seribu katak air. Seperti biasa, ia mulai melangkah tegas, lalu mengusut kelengkapan pakaian kami masing-masing individu. Kemiringan dasi satu senti tak luput dari sorot netranya. Semestinya, cap anak asrama selalu berpakaian apik.

"Bagus. Tidak ada keburukan di pakaian kalian. Berangkat! Cepat!" Tak alang kepalang, kami semua berlari dan mengelak dari suaranya yang bak petir sampai lupa menabiknya. Dasar konyol.

***                 

Hari ini aku sangat bergairah ke sekolah. Meski setelah berlari seusai apel pagi, entah mengapa saraf letihku seperti terpenggal. Hal itu tentu bukan karena uang jajanku baru dikirim kemarin sehingga aku bisa buncitan di kantin, atau karena ada pelajaran Bahasa Indonesia -mata pelajaran yang paling kusukai. Namun, karena hari ini aku bersimpuh di kelas yang baru, kelas unggulan.

Aku duduk di kelas unggulan setelah aku berhasil meraih juara dua di kelasku yang lama. Karena di sekolahku diterapkan sistem rombak kelas per semester, aku berwenang berjangkit ke kelas unggulan, kelas F. Dengan begitu, aku juga akan mengenyam julukan yang sangat brilian itu, anak F. Julukan itu membuatku bisa berjalan dengan kepala sedikit lebih tegak.

Aku melangkah pasti, menapakkan kaki untuk pertama kalinya di kelas unggulan. Namun, suasananya tiba-tiba terasa berbeda. Opini orang-orang tentang kelas ini terus menusuk kepalaku bak pisau belati dengan tajam. Termasuk Teta, teman sekelasku  yang menjadi saksi bagaimana ia dikhianati. Meski begitu, Teta dikenal dengan julukan "pembohong", sehingga aku sulit untuk mempercayainya. “Kau kan bukan mantan anak unggulan,” kataku ketus tiap Teta bercerita.

Memang, aku sering menyerap berbagai cerita tak mengasyikkan  dari dalam kelas unggulan. "Kelas unggulan bak neraka dengan ribuan kekejaman". Bukan hanya itu, "Tak ada istilah teman". Memang, sebagai orang yang tergolong introvert, aku cenderung sulit memercayai cerita orang. Apalagi cerita orang yang di luar nalar. "Bilang saja kau tak mampu ke kelas unggulan," aku terpaksa mengatakannya, ala ala selalu itu yang diperbincangkan.

Biarpun begitu, opini orang-orang tadi hanyalah hipotesis atau pendapat gadungan yang belum ada pembuktian ilmiahnya. Boleh jadi, semua opini tadi hanyalah bahan adu domba dan menurunkan martabat kelas unggulan. Mungkin sebentar lagi, aku akan dijuluki si sombong. Karena aku yakin telah mengambil langkah yang tepat, meskipun nanti sesuatu yang buruk terjadi, itu hanya akan menjadi cara semesta menutupi hal hebat di baliknya—sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang terus berjuang.

Kini aku berdiri di depan pintu kelas F, membawa hipotesis dan opini-opini yang haus akan kepastian di pundakku. Kutatap sekelilingku, dan aku tersentak kaget melihat anak-anak kelas F yang terlihat sangat aneh. Perlahan, kupejamkan mataku. Dalam hati, aku berkata dengan tegas, "Aku siap tempur!"


--------------------------- Bersambung ke "Glaxium part I : Introduce" Bagian 2 : "Savage"

---------------------------------------------------------------

 

WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak menyalin dan menjiplak apa pun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem sastra yang baik di tanah air. Terima kasih.

TTD

Van Raja

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selumbari untuk Lusa

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *