Selumbari untuk Lusa
Di bawah rinai hujan, aku terpaku menyaksikan sosoknya berlari cergas. Wajahnya merekah adiwarna, rambut pendeknya terurai pendar, berpadu ayu dengan ribuan rintik. Aku mengawat payung dengan jemari ragu. Haruskah aku melindunginya dari hujan, atau membiarkannya menari bebas bersama dunianya? Ternyata, pertembungan ini lebih dari sekadar hujan. Ya, caraku memahami kebahagiaan, keberanian, dan rasa ingin tahu, yang nyatanya tak pernah terjawab hingga cerita ini berakhir.
Meski jam dinding kantor telah menunjukkan pukul
lima sore, aku masih tenggelam dalam kesibukan. Data-data di layar laptop
seperti tak ada habisnya. Jemariku menari lincah di atas keyboard, mengetik
angka, kata, dan formula yang seakan berpadu dalam simfoni kerja.
Sesekali aku mengalihkan pandangan, menyapa rekan
kerja yang mulai meninggalkan ruangan. “Jangan ketiduran di kantor, Bari!” goda
mereka sebelum menutup pintu. Aku hanya tersenyum kecil, lalu kembali fokus ke
layar laptop.
Proyek yang aku kerjakan tidak bisa menunggu
lebih lama lagi. Deadline besok pagi. Menundanya sama saja dengan membuyarkan
rencana panjang ke depan. Lebih fatal lagi, surat peringatan. Berteman napas
yang teratur, aku berusaha menyelesaikan
satu bagian demi satu bagian.
Suasana ruangan kembali hening, seiring langkah
terakhir Axel -rekan kerja- yang terakhir meninggalkan pintu. Kini tersisa aku,
meja penuh berkas, dan layar laptop yang terus menyala. Suara ketukan keyboard
mencoba memecah keheningan, bersaing ciamik dengan ritmis hujan yang mulai
turun membasahi ibukota.
Waktu berlalu tanpa terasa. Jam dinding sekarang
menunjukkan pukul tujuh malam. Aku menekan tombol simpan setelah tiga kali melakukan pengecekan. Punggungku terasa pegal, diikuti kedua netra
yang mulai berat untuk menatap.
Aku menghela nafas panjang. Ketegangan yang
sempat menguasai tubuh perlahan melepaskan diri. Sembari mengurut leher
belakang, aku melangkahkan kaki menuju toilet. Langkahku cukup berat. Tanganku
beberapa kali memegang dinding, mencoba mengambil tumpuan. Sementara lampu-lampu
mengiringi langkah kecilku, seolah menyambut pria berkacamata ini.
Cermin langsung menampilkan wajahku saat pintu
dibuka. Wajah lelah dengan lingkaran hitam samar di bawah mata terpampang jelas
di sana. “Apakah aku terlalu memaksakan diri untuk handle proyek ini, ya?”
ucapku dalam hati sembari membuka keran air.
Kesegaran merasuk sanubari sejejnak. Alunan air
membasahi jari-jemariku dengan elok, laksana lonjakan energi baru milik
pahlawan super. Ketika air itu membasuh wajah, aku bisa merasakan kesegaran
yang lebih dalam. Merasa puas juga karena proyek penting telah selesai.
“Akhirnya, semua bisa diselesaikan. Satu Langkah
lagi juga menuju akhir pekan,” ucapku sembari berjalan menjauhi toilet.
***
Lift bergerak turun menuju lantai pertama yang
aku tuju. Tubuhku bersandar sejenak. Pintu lift terbuka di lantai dasar. Ketika
aku keluar dari gedung, aroma khas hujan bercampur udara malam menyambutku.
Jalanan basah memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas.
Aku berjalan perlahan menuju parkiran. Suara langkah
sepatuku terdengar samar, beradu dengan permukaan lantai. Aku meraih kunci dari
dalam tas, lalu membuka jok untuk mengambil jas hujan. Dengan cekatan aku
mengenakannnya, lalu bersiap menembus hujan di tengah keramaian kota mala mini.
Butiran air membasahi visor helmku, memaksa
pandangan lebih awas menembus tirai air yang jatuh tanpa jeda. Jalanan cukup
licin, lampu kendaraan memantul di genangan air, menciptakan kilauan
warna-warni yang seakan menari di aspal basah.
Aku menjaga kecepatan, hati-hati menghindari
lubang dan genangan yang tak terduga. Di sisi jalan, beberapa pengendara tampak
menepi. Berteduh di bawah kanopi toko, juga berteduh di bawah atap halte. Namun
aku terus melaju, mengandalkan jas hujan lusuh yang melindinguku.
Beberapa kilometer berlalu, akhirnya aku bisa
melihat papan nama kecil yang sudah akrab di mataku. “Warung Makan Bu Tuti.”
Warung sederhana di pinggir jalan ini menjadi tempat favoritku sejak lama. Aku
memarkir motor di bawah tenda kecil khusus parkiran pelanggan. Helm dan jas
hujan kuluangkan arkian kugantung di motor, lalu masuk ke dalam warung.
“Seperti biasa, Bu. Soto ayam dan teh panas,”
kataku sambil tersenyum pada Bu Tuti, pemilik warung. Dia mengangguk. Tangannya
tampak cekatan menyiapkan pesanan.
Aku memilih duduk di kursi dekat jendela kecil,
melihat ke arah jalanan yang ramai dengan kendaraan. Suara hujan berpadu dengan
obrolan ringan beberapa pengunjung warung, menerbitkan suasana yang nyaman.
Tak lama, seporsi soto ayam hangat tersaji di
hadapanku. Uapnya naik, membawa aroma rempah yang menggiurkan. Aku menyeruput
kuahnya perlahan, merasakan kehangatan mengalir ke tubuhku. Potongan ayam yang
lembut, perkedel renyah, dan sambal pedas menambah kesempurnaan malam ini.
Sembari menyendokkan suapan demi suapan, aku
menilik keluar jendela. Hujan belum menujukkan tanda-tanda ingin berhenti.
Hingga pandanganku terpaku pada sosok di seberang jalan. Seorang wanita muda
berdiri kokoh, seolah menantang jutaan bulir air yang sejak tadi membasuh bumi.
Tubuhnya terbasuh, tapi rasa dingin tak terpancar sedikit pun dari raut
wajahnya. Dia menengadah ke langit sambil melepas tawa. Kedua tangannya
terentang seolah ingin merangkul hujan.
Aku tertegun, sendok di tanganku menggantung
sejenak. Ada sesuatu yang memikat dari caranya menikmati hujan -kebebasan yang
jarang kulihat dalam keramaian kota yang selalu terburu-buru ini. Aku mendapati
diri ikut tersenyum kecil. Dalam hati, aku bertanya-tanya, siapa dia? Apa yang
membuatnya begitu lepas, begitu berani menghadapi dingin dan basah hanya untuk
tertawa seperti itu? Hujan yang sebelumnya terasa seperti tantangan kini tampak
seperti sahabat yang akrab, setidaknya bagi dia.
Suara Bu Tuti membuyarkan tatapan dan khayalanku.
“Kenapa senyum sendiri, Bari?” Tanyanya sambil menyantap sebiji bakwan.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, berusaha
menutupi kelakuanku. “Eggak, Bu. Itu… saya cuma lihat perempuan di sana. Dia
lagi kehujanan, tapi kelihatnnya senang sekali.”
Bu Tuti mengarahkan pandangannya ke arah wanita
itu, dan tersenyum kecil. “Oh, itu. Dia sudah beberapa kali melakukan hal yang
sama. Setiap kali hujan deras di malam hari, dia suka keluar ke jalan. Kadang
tertawa, kadang menari. Orang-orang di sekitar sini juga sudah biasa melihat
dia.”
Aku terbelalak kaget mendengarnya. “Serius, Bu?
Kok saya tidak pernah lihat? Padahal, saya sering mampir ke sini kalau hujan.”
Bu Tuti mengangkat bahu sambil melahap bakwan.
“Mungkin karena kamu sibuk makan sambil main ponsel. Bahkan, dia sudah mandi
hujan sejak sore tadi saat hujan turun.”
Aku menoleh lagi ke luar jendela. Wanita itu
masih di sana, masih dengan kebahagiaan yang sama. Dia benar-benar akrab dengan
hujan.
“Dia tinggal di sekitar sini, Bu?” tanyaku penasaran.
“Entahlah,” jawab Bu Tuti sambil mengunyah bakwan
yang kedua. “Kata orang-orang sekitar, dia sering ke sini, tapi tidak banyak
yang tahu soal dia. Yang jelas, dia seperti tidak peduli perkataan orang. Bebas
saja. Itu yang buat orang lain heran.”
Aku mengangguk pelan, membiarkan kata-kata Bu
Tuti meresap.
“Bari, kalau sejatinya kamu penasaran, lain kali coba
saja mengobrol dengannya. Siapa tahu, kamu dapat cerita yang menarik.”
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Ah, Bu,
saya mana bisa. Saya tidak berbakat buat berbicara dengan wanita,” ujarku
pelan. “Pacaran saja belum pernah, Bu. Gimana mau ajak bicara?”
Bu Tuti terbahak kencang, sembari menutup
mulutnya yang menyisakan bakwan. Orang-orang di warung menoleh ke arah kami.
“Kamu ini seperti anak kecil saja. Masa memulai obrolan
saja susah? Kan Cuma bilang ‘halo’, nanya kabar atau apa gitu.”
Aku mengaduk teh panas dengan sendok kecil,
berusaha mengalihkan perhatia dari rasa canggung yang mulai menyelimuti.
“Ah, Bu,” ujarku pelan, “kedengarannya mudah,
tapi bagi saya itu seperti mendaki gunung. Entahlah, rasanya selalu ada yang
bikin ragu.”
“Bari, kamu ini terlalu banyak berpikir. Hidup
ini kadang sesederhana menyapa orang, jadi tidak perlu dibuat rumit.” Dia
mencondongkan tubuhnya sedikit, menatapku dengan senyum penuh arti. “Lagipula,
siapa tahu dia bakal senang kalau ada yang ngajak ngobrol. Jangan-jangan, dia
mandi hujan gitu karena pengen diperhatikan?”
Aku hanya menganggukkan kepala, mencoba
menghentikan pembahasan yang sepertinya semakin mendalam. Tapi jauh di dasar
hati, aku menerima kenyataan bahwa aku penasaran dengan sosoknya.
***
Hari Sabtu di kantor terasa berbeda. Sentuhan
lebih santai terpancar di sela-sela suasana yang sibuk. Beberapa rekan kerjaku
sudah datang lebih awal. Duduk di kursi masing-masing, tampak sibuk dengan
layar komputer. Ada juga yang tengah asyik mempersiapkan secangkir kopi di
ruang pantry. Sementara itu suara mesin fotokopi dan obrolan ringan mulai
memenuhi udara.
Aku melangkah ke ruang kerja, disambut suara
sapaan lembut dari beberapa kolega.
“Selamat pagi, Bari!” sapa Amel, sembari
melambaikan tangan dari meja kerjanya.
“Pagi, Mel” balasku sambil melangkah menuju meja.
Aku melirik sekeliling sembari menurunkan tas.
Axel, rekan yang duduk di sebelahku, belum menunjukkan batang hidungnya.
Layar komputer menyala, menampilkan email masuk
yang menumpuk sejak Jumat sore. Proyek yang telah kusiapkan kemarin juga
kuperiksa kembali. Dokumentasi, pengujian, dan laporan telah siap diserahkan.
Sekarang tinggal menunggu untuk presentasi.
“Axel kemana, Mel?” tanyaku sambil sesekali
menoleh ke arahnya.
Amel menggelengkan kepala. “Kurang tahu, mungkin
dia telat. Tasnya belum ada di atas mejanya.”
Tak lama waktu berselang, suara langkah
tergesa-gesa terdengar dari arah pintu. Sosok Axel muncul dengan wajah sedikit
panik. Tas tersampir di pundaknya, sementara setumpuk dokumen hamper terlepas dari
tangannya.
“Maaf, telat!” ucapnya terengah-engah sambil menjatuhkan
diri ke kursinya.
Aku tersenyum kecil, mencoba menahan tawa. “Santai,
Xel. Tapi kenapa buru-buru banget?”
Axel membuka tasnya, menata dokumen di meja, lalu
menarik napas panjang. “Alarmku nggak bisa bunyi. Hampir aja kebablasan tidur,”
jawabnya dengan nada bercanda.
“Untung aja,” ujarku sambil menyunggingkan
senyum, “kalau enggak, pasti saya yang harus backup presentasimu nanti,”
Axel menatapku sambil menahan tawa. “Bisa aja
kerupuk jange Bu Tuti” ucapnya. Gelak tawa yang tidak tertahan akhirnya keluar
memenuhi ruangan. Suasana Bahagia terbit di pagi hari yang indah.
***
Langit sore di luar kantor perlahan berubah. Awan-awan
kelabu mulai menguasai bentangan biru yang sebelumnya cerah, seakan melukis
suasana mendung dengan guratan lembut namun tegas. Sepertinya hujan akan turun.
Aku tersenyum kecil. Kali ini, aku menginginkan turunnya hujan.
Aku sudah di parkiran, bersiap untuk pulang.
Presentasi tadi bagi berjalan lancar. Tepuk tangan memenuhi ruangan setelah aku
berhasil menyelesaikan materi. Perasaan Bahagia masih terasa saat aku memasang
helm dan menyalakan motor. Mesin motor hitamku meraung pelan, seolah ikut
antusias menyambut perjalanan pulang. Aku melaju meninggalkan parkiran kantor
dengan hati yang ringan.
Waktu baru berjalan lima belas menit, titik-titik
air perlahan jatuh membasuh bumi. Visor helmku menangkap beberapa butiran hujan
pertama, membuat pandangan sedikit buram. Aku melambatkan laju motor. Niat
ingin mengenakan jas hujan sirna. Benda itu tertinggal di apartemen. Pasarah
adalah jawabannya.
Air hujan perlahan menembus kemejaku. Rasa dingin
yang menggigit kulit terbit di sana. Rasa tidak nyaman mulai menyerang. Jalanan
juga semakin licin, menambah kepahitan yang aku alami.
Warung Bu Tuti menampakkan diri dari kejauhan.
Secercah harapan perlahan muncul di tengah situasi yang pahit ini. Namun,
pandanganku berhasil takluk oleh sosok di seberang jalan. Wanita bermabut
pendek si penyuka hujan. Kenikmatan Soto ayam buatan Bu Tuti seolah takluk oleh
rasa penasaran ini.
Aku langsung membelokkan motor ke arah wanita itu
secara perlahan, mencoba tidak membuat keributan. Aku membuka helm, menatapnya
sejenak, lalu berjalan mendekat.
Langkahku terhenti, bimbang memilih menghampiri
atau memutar arah. Rasanya seperti ada benang halus yang menarikku untuk
mendekat, tapi rasa gugup menggema laksana petir di dada. Apa yang harus aku
katakan? Bagaimana kalau kehadiranku malah mengganggunya?
Aku berdeham pelan, nyaris tak terdengar. “Eh…,”
ujarku pelan. Suaraku tenggelam di antara riuh hujan. Aku menarik napas,
mencoba sekali lagi. “Permisi…”
Wanita itu menoleh perlahan. Wajahnya masih
bercahaya meski dibasuh air hujan. Matanya yang cerlang bertemu pandang
denganku. Sejenak aku terdiam, seolah lumpuh oleh tatapan itu.
“I-ini…” Aku mengangkat payung dengan kedua
tanganku. Suaraku lirih, tapi aku memaksakan diri melanjutkan. “M-maaf
mengganggu... tapi, hujannya deras sekali. Apa... apa kamu tak ingin berteduh?”
Dia tersenyum samar. Ada sesuatu dalam senyumnya
yang membuat hujan terasa lebih hangat. “Hujan itu sahabatku,” katanya pelan,
suaranya lembut seperti irama tetes air. “Aku sudah lama menjadikannya pelipur
lara.”
Aku terdiam. Kata-katanya terdengar seperti bait
puisi. Aku mencoba mengatur napas, tapi detak jantungku masih belum tenang.
“Tapi… nanti kamu bisa sakit,” ujarku akhirnya, suaraku nyaris seperti bisikan.
Dia terkekeh kecil, suaranya seperti bel kecil
yang menari di antara angin. “Kehujanan belum tentu membuat sakit. Kadang yang
membuat sakit justru beban yang tak terlihat, seperti hati yang penuh sesak.”
Dia menatapku sejenak, lalu menambahkan, “Kamu sendiri kenapa di sini, membawa
payung, tapi malah basah juga? Sepertinya kamu yang nanti akan sakit, bukan
aku. Kamu tampak menggigil kedinginan”
Aku meneguk ludah, mencoba menelan perasaan malu.
“Aku... aku hanya… membawanya untukmu,” jawabku gugup. “Kupikir… kalau kamu
mau, payung ini bisa melindungimu. Kalau aku, memang mudah menggigil kedinginan”
Dia memandangku, matanya lembut tapi dalam. Ada
jeda yang panjang sebelum dia akhirnya berkata, “Kamu baik sekali. Tapi terkadang,
yang melindungi kita justru adalah keberanian untuk berdiri di bawah hujan,
bukan payung.”
Aku tersenyum kecil, meski aku masih merasa
canggung. “Aku tak terlalu paham soal keberanian,” gumamku. “Bagiku,
mendekatimu saja rasanya seperti menantang badai.”
Dia tertawa kecil, kali ini lebih riang. “Kata
orang bijak, badai hanya ada untuk menguatkan, bukan menjatuhkan. Kalau
langkahmu sampai di sini, berarti kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya
menundukkan kepala sedikit, mencoba menyembunyikan pipiku yang memerah. “Aku
cuma ingin memastikan... kamu baik-baik saja.”
Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Terima
kasih,” ucapnya lembut. “Hujan ini memang terlalu deras. Mungkin aku harus
berhenti menantangnya kali ini.” Dia melangkah mendekat, lalu meraih payung
dari tanganku. “Boleh kita berteduh bersama?”
Aku mengangguk, terlalu gugup untuk berkata
apa-apa. Dia membuka payung, lalu berjalan di sampingku, berbagi naungan kecil
di bawahnya.
***
Warung Bu Tuti menjadi pilihan. Kami berdua
masuk, aroma soto yang khas langsung menyambut kami. Aku menuntun wanita itu
duduk di tempat favoritku, meja di sebelah jendela. Posisi yang asyik untuk memandang
keluar.
“Kamu suka soto?” tanyaku memulai pembicaraan.
Dia berpikir sejenak, lalu menjawab dengan nada
ceria. “Aku suka, tapi kalau boleh jujur, aku lebih sering memilih bakso. Ada
bakso di sini?”
Aku terkekeh kecil. “Ada, tapi soto di sini
juara. Kalau boleh aku sarankan, kamu harus coba. Itu soto favoritku.”
Netranya berbinar. “Baiklah, semoga sesuai
ekspektasi,” balasnya sambil tertawa. Bayangan sifat wanita yang misterius
seolah sirna. Wanita ini lumayan asyik.
Aku tersenyum, lalu melangkah menuju tempat
pesanan. Bu Tuti tampak sibuk di sana.
“Bu,” sapaku, “aku berhasil mengajak wanita itu”
Bu Tuti terbelalak kaget sembari melirik ke meja
tempat aku dan wanita itu. “Bagaimana? Dia tidak menyeramkan, bukan?”
“Enggak, Bu. Sejauh ini, dia wanita yang asyik.”
“Syukurlah. Kalau gitu, kamu mau pesan apa?”
“Satu soto yang aku suka, Bu. Satu lagi… normal
saja.”
Bu Tuti terkekeh kecil mendengar jawabanku sambil
menyelesaikan pesanan.
Aku kembali ke meja sambil membawa dua mangkok
soto yang mengepul, aromanya memenuhi udara. Wanita itu mengangkat wajah dan tersenyum
hangat. Dia mengambil sendok, mencicipi kuahnya perlahan. Sepersekon kemudian,
matanya tampak berbinar-binar.
“Wow. Ini enak sekali. Kuahnya ringan, tapi kaya
rasa. Kalau kata Mei-Mei, saya suka, saya suka!” ucapnya yang membuat aku
tertawa. Sangat lucu,
Aku menatap dalam ke arahnya. Senyum kehangatan
terpancar di wajahnya. “Kalau seperti itu, mungkin Bu Tuti perlu buka cabang di
kota besar lain. Soto ini bisa jadi terkenal.”
Dia tertawa lepas, suara tawanya laksana denting
kaca yang jernih. “Ah, kalau itu terjadi, mungkin aku harus kembali ke sini
lebih sering sebelum tempat ini jadi terlalu ramai.”
Aku memanfaatkan momen itu untuk mengenal dia
lebih dekat. “Ngomong-ngomong, nama aku Selumbari. Panggil saja Bari. Biasanya
aku makan di sini selepas kerja. Kalau kamu?” tanyaku, mencoba terdengar
santai.
“Lusa, ya, panggil saja Lusa. Maksudku, bukan dua
hari ke depan akan aku jawab,” ujarnya sambil tertawa kecil.
“Lusa,” ulangku perlahan, mencoba mengingat nama
itu dengan baik. “Nama yang unik. Kamu sering ke sini juga?”
Wanita itu menggelengkan kepala sambil memainkan
rambutnya yang basah. “Enggak juga. Aku cuma mampir kalau lagi merasa… perlu.”
“Perlu?” tanyaku, mencoba memahami maksudnya.
Lusa tersenyum kecil. Guratan di atas bibir itu
seolah menyimpan sesuatu. “Iya, kalau aku perlu sesuatu yang hujan bisa kasih.”
Aku menatapnya, bingung sekaligus penasaran. Apa
yang bisa hujan berikan selain basah dan dingin? Aku memutuskan untuk tidak
langsung bertanya. “Kamu suka hujan, ya?”
“Bukan cuma suka, aku cinta,” jawab Lusa cepat. Dia
menatap langit yang masih gelap. “Hujan itu jujur. Dia datang tanpa basa-basi,
dan pergi tanpa janji.”
Jawaban itu membuatku terdiam. Ada sesuatu yang
puitis sekaligus melankolis dalam cara Lusa berbicara. “Kalau begitu, apa yang
hujan kasih malam ini?” Aku akhirnya memberanikan diri bertanya lebih dalam.
Lusa tertawa kecil, kali ini tidak terbahak-bahak
seperti sebelumnya, melainkan lembut, nyaris seperti bisikan. “Malam ini?
Mungkin… teman ngobrol.” jawabnya sambil tersenyum ke arahku.
Wajahku memerah seketika, bak tomat yang siap
panen. “Aku selalu lihat kamu di seberang jalan sana setiap hujan turun. Aku
penasaran, kenapa kamu suka mandi hujan tiap malam?”
Pertanyaan itu membuat Lusa mendongak sedikit, dia
tidak langsung menjawab. “Ah, pertanyaan seperti itu. Sepertinya aku harus
pikir-pikir dulu untuk menjawabnya.”
Aku mencoba membalas dengan senyum santai. “Aku
cuma penasaran,” ucapku pelan, tidak ingin menekan.
“Kamu tahu,” kata Lusa, “hujan itu punya rahasia.
Kalau aku kasih tahu alasan menyukai hujan, mungkin dia enggan untuk turun.”
Aku tertawa kecil, meski tidak sepenuhnya
mengerti maksudnya. “Kamu seperti lembaran teka-teki silang, ya.”
“Bukankah hidup memang teka-teki?” balas Lusa,
mengangkat bahunya. “Kadang kita enggak perlu cari jawabannya. Cukup nikmati
saja pertanyaannya.”
Obrolan itu berakhir ketika Lusa melihat
arlojinya. “Aku harus pergi. Terima kasih, Bari, sudah jadi teman ngobrol yang
baik malam ini.”
Aku ingin meminta Lusa untuk tetap tinggal, tapi
kata-kata itu tertahan di ujung lidah. Tubuh wanita itu perlahan menghilang di
kejauhan
***
Minggu malam telah tiba. Aku memilih Warung Bu
Tuti untuk menghabiskan waktu. Warung kecil ini selalu memberikan kenyamanan,
dengan aroma soto yang menggoda di tengah udara malam yang dingin.
“Menu seperti biasa, Bu!” ujarku yang membuat Bu
Tuti menatap bingung.
“Tumben sekali hari libur begini kamu datang.
Bari”
Aku tersenyum kecut, mencoba mengabaikan
tatapannya yang penuh selidik. “Cuma lewat, Bu. Tiba-tiba pengen soto, itu
saja.” Balasku sambil berjalan menuju tempat duduk.
Dari jendela kecil, langit tampak cerah dihiasi bintang-bintang.
Tidak ada tanda-tanda turun hujan malam ini. Tidak ada hujan, tidak ada Lusa. Aku
mencoba mengusir kekecewaan dengan menyeruput teh panas yang Bu Tuti bawakan.
Jam dinding berdetak pelan. Setiap menit yang
berlalu terasa seperti beban. Aku terus memandangi jalanan di luar jendela,
berharap ada sosok yang menari di bawah rintik hujan. Tapi langit tetap bersih,
hanya dihiasi awan tipis yang melayang malas
Setelah menunggu hampir satu jam, aku akhirnya
menyerah pada keadaan. Hujan benar-benar tak berpihak padaku. Aku menghabiskan soto
yang seolah rasanya tak berhasil menenangkanku. Soto ayam kali ini benar-benar
terasa hambar.
***
Hari Senin di kantor terasa panjang. Aku duduk di
kursi, menatap lamat-lamat layar komputer, tapi pikiranku entah melayang ke
arah mana. Tumpukan pekerjaan di meja tidak membantu, malah semakin menambah
kebosanan. Ada email yang perlu dibalas, laporan yang harus diselesaikan, dan
dokumen yang menanti untuk diperiksa. Entah kenapa, aku tidak punya energi
untuk menyelesaikannya.
Waktu berjalan begitu cepat. Sore harinya, langit
mulai berubah, semakin mendung. Awan-awan gelap mulai mengumpul, menggantikan
cahaya cerah yang sebelumnya mengisi ruang kantor.
Sesuatu di dalam diriku mulai bergetar. Ada
kebahagiaan yang muncul, meski aku tahu itu tidak sepenuhnya beralasan. Melihat
langit yang berawan hitam membuatku merasa tenang.
Aku bangkit dari kursi, berjalan pelan menuju
dapur kantor. Sebuah rencana mulai terbentuk. Mandi hujan. Aku tahu ini bukan
kebiasaanku, tapi malam ini rasanya aku harus coba. Setelah semua yang terjadi,
sepertinya ini satu-satunya cara untuk memahami perasaan Lusa.
Jam dinding akhirnya menunjukkan waktu pulang.
Aku bergegas keluar dari kantor. Kedua kaki terasa ringan melangkah, meskipun
tubuh terasa lelah. Ada kegembiraan yang aku sendiri tidak sepenuhnya mengerti.
Hujan yang sejak kemarin aku nantikan akhirnya turun juga. Perasaan untuk
bertemu Lusa, si gadis yang aku pikir misterius, semakin tak tertahankan.
Aku mengendarai motor dengan hati penuh harapan.
Udara yang sejuk berteman aroma tanah yang basah memeluk tubuhku. Bayangan Lusa
semakin menyala di pikiranku.
Semakin dekat warung Bu Tuti, laju motor semakin
lambat. Kedua netraku mulai mencari-cari di sepanjang trotoar, berharap sosok
Lusa dengan rambut pendeknya tengah menari di sana. Sialnya, sosok itu belum terlihat.
Aku memarkirkan motor sembarangan di trotoar. Segera
turun untuk melepaskan helm dengan tangan yang sedikit gemetar. Aku mengamati
sekitar. Jalanan yang basah, lampu-lampu yang bersinar redup, dan udara yang
dingin semakin menguatkan perasaan bahwa malam ini adalah malam yang istimewa.
Satu hal yang kurang, kehadiran sosok Lusa.
Perasaan ragu mulai merayapi hati. Apakah aku
terlalu berharap pada sosok yang baru saja aku kenal? Bukankah hujan yang turun
saat ini adalah pertanda bahwa dia akan datang? Namun, kehadirannya tida
terbesit sampai saat ini.
Aku menarik napas panjang. Langkahku terdengar
pelan di tengah hujan. Mata ini terus mencari di antara bayang-bayang, berharap
menemukan sosok itu.
"Lusa!" teriakku perlahan, mencoba
memanggil namanya. Hanya suara hujan yang menjawab, berdesir di telinga.
Aku tahu ini konyol, melakukannya saat hujan di
malam seperti ini. Pasti banyak pengendara yang menganggapku gila.
Aku melangkah lebih jauh, menyusuri trotoar yang
basah, berharap sosok itu bersembunyi atau berteduh di bawah pohon besar.
Setiap sudut yang kulalui menambah harapan, tetapi setiap langkah semakin
memperjelas ketidakpastian. Lusa tidak ada.
"Lusa!"
teriakku lagi, kali ini lebih keras. Namun, hanya hujan yang menjawab, semakin
deras, semakin berat. Tak ada jejak sosoknya. Tak ada tanda-tanda bahwa dia ada
di dekatku.
Aku berhenti sejenak sambil menatap jalanan ramai
dan basah. Berbagai perasaan mengalir begitu cepat, ibarat aliran sungai yang
tak terhentikan. Aku merasa aneh, seolah ada sesuatu yang hilang-sesuatu yang
sulit dijelaskan. Malam ini, hujan bukan hanya tentang air yang jatuh dari
langit. Hujan ini adalah tentang Lusa, tentang harapan yang terikat erat di
setiap tetesnya.
Aku berdiri di tengah trotoar yang semakin sunyi.
Rintik hujan yang mengalir di wajahku menyapu kekesalan. Mengapa aku begitu
berharap, begitu terikat pada pertemuan yang bahkan belum pasti? Tapi di sisi
lain, apakah itu tidak tepat? Bukankah setiap hal yang muncul di dalam hidup
ini, baik itu seseorang atau suatu perasaan, haruslah dinikmati saat itu juga?
Hujan masih terus turun, seolah memberikan
jawaban dalam keheningan yang menyelimuti malam ini. Aku menutup mata sejenak, membiarkan
kenangan bersama Lusa tadi malam mengalir dalam pikiranku. Wajah Lusa dengan
senyum hangatnya, cara dia berbicara tentang hujan, dan bagaimana segala hal
tampak lebih hidup ketika dia ada di sana.
Aku membuka mata, menatap warung Bu Tuti yang
kini semakin sunyi. Semua ini terasa seperti potongan dari teka-teki yang belum
terselesaikan, dan aku hanya bisa berdiri di tengah kebingungan. Menapa hujan turun malam ini? Menapa aku sangat
semangat untuk datang?
***
Hari-hari selanjutnya berjalan dengan cepat. Setiap
kali langit mendung, aku berharap menemukan Lusa di bawah tirai hujan. Namun,
seiring waktu, sosok wanita berambut pendek itu perlahan menghilang dari
imajinasiku, ibarat awan yang mengambang pergi setelah hujan reda.
Aku masih sering datang ke warung Bu Tuti, duduk
di meja yang sama, dekat jendela. Hanya saja, aku tidak lagi menunggu sosok
yang menari di bawah hujan. Aku hanya duduk di sana, memesan soto yang sudah
menjadi kebiasaanku, sambil menatap hujan yang turun tanpa henti. Aku tidak
menunggu, tidak berharap, hanya menikmati hujan seperti dulu, tanpa ada
bayangan Lusa di sana.
Aku menyadari perubahan dalam diriku. Mungkin
waktu telah mengajarkanku untuk menerima bahwa tidak semua hal bisa
dipertahankan. Tidak semua kenangan harus dihidupkan kembali. Beberapa
pertemuan memang singkat, namun meninggalkan jejak yang tak mudah terlupakan.
Lusa, dengan segala misteri dan pesonanya, telah
menjadi bagian dari cerita hidupku yang indah. Mungkin dia hadir hanya untuk
mengajarkan aku satu hal. Ya, hujan bukan sekadar air yang jatuh, tapi juga
tentang melepaskan. Melepaskan dengan ikhlas, agar ruang untuk hal-hal baru
bisa terbit.
Sembari menikmati soto yang terhidang di meja,
aku tersenyum kecil. Aku meneguk kuahnya yang terasa begitu nikmat. Sementara
itu, hujan terus mengguyur ibukota, menutup malam yang indah ini.
--TAMAT--
WARNING!
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak menyalin dan menjiplak apa pun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem sastra yang baik di tanah air. Terima kasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar