POV Bapak-Bapak

Cerpen berjudul POV Bapak-Bapak karya Van Raja

---------------------------------------------------

Jadi bapak-bapak itu banyak diam, tapi pikirannya selalu penuh untuk orang rumah. Kadang lelahnya kerja hilang hanya karena pelukan anak atau senyum istri di teras. Hidup memang enggak selalu mudah, tapi tawa kecil dan obrolan warung cukup bikin hati bapak-bapak ini kuat.
----------------------------------------------------


Namaku Darto. Usia 45 tahun. Rambut mulai mundur ke belakang, perut mulai maju ke depan. Aku pegawai administrasi di kantor kelurahan, suami dari satu istri yang tegasnya melebihi kepala dinas, dan bapak dari dua anak yang kadang bikin bahagia, tapi lebih sering bikin migrain.

Pukul 04.57 pagi. Belum subuh, tapi lutut sudah bunyi kriuk-kriuk seperti kerupuk disiram kuah bakso. Bangun bukan karena semangat hidup, tapi karena kandung kemih sudah berteriak minta dikosongkan. Setelah urusan kamar mandi beres, aku duduk di teras. Sebuah ritual pagi dengan kopi hitam tanpa gula, rokok sebatang yang kadang disembunyikan istri, dan radio tua yang cuma bisa nangkep dua stasiun—satu berita, satu dangdut.

"Pak, jangan lupa pulang nanti beli cabai, sabun, dan kalau bisa, bawa sedikit kesabaran," kata Sari, istriku, dari dapur. Suaranya khas—keras—tapi entah kenapa bikin kangen kalau lama enggak kedengaran.

Aku mengangguk sambil mengunyah roti tawar yang diolesi mentega setipis tisu. Anak pertama, Rafi, 16 tahun, keluar dari kamar sambil ngucek mata. Rambutnya acak-acakan, pakai celana pendek dan hoodie. Tanpa sepatah kata pun, dia langsung mencari susu coklat lalu kembali masuk kamar. Anak zaman sekarang, hemat kata, boros kuota.

Anak kedua, Dinda, 8 tahun, masih polos. Dia keluar kamar, langsung memeluk aku dari belakang. "Ayah, jangan lupa pulang cepet ya. Aku mau nunjukkin gambar dinosaurusku."

"Siap, komandan," jawabku sambil tos kecil. Sekecil itu, tapi bikin hati yang tua ini terasa lembut.

***

Jam 8 pagi, aku sudah berada di kantor. Ruangan sempit itu hanya dihuni tiga pegawai dan satu unit AC—yang hanya hidup kalau dipukul dulu. Bosku, Pak Naryo, masuk dengan ekspresi seperti abis ditilang dan kehilangan sandal sekaligus.

"Pak Darto, data warga RW 5 mana?" katanya.

"Masih diolah, Pak. Komputernya tadi nge-hang," jawabku.

"Komputernya yang nge-hang atau bapaknya?"

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Jadi bapak-bapak itu memang sering disalahkan, meski sebenarnya enggak salah-salah amat. Tapi udah biasa. Di rumah juga gitu, kan?

Saat jam makan siang, aku membuka bekal. Isinya nasi, tempe, sambal, dan telur dadar yang bentuknya lebih mirip peta Sumatera. Tapi rasanya? Masya Allah. Makanan cinta buatan Sari. Aku kirim pesan WhatsApp:

Darto: "Makasih bekalnya, Bu. Bentuk telurnya lucu."

Sari: "Itu bentuk cinta, Pak. Agak hangus, tapi niatnya tulus kok."

Aku senyum-senyum sendiri. Temen sekantor melirik arkian berkomentar, "Wah, Bapak lagi muda, nih. Senyum-senyum WA-an."

"Iya, lagi pacaran sama istri sendiri," jawabku dengan bangga.

***

Pulang kerja, aku mampir ke pasar, hendak membeli pesanan istri. Pasar sore ini tampak lebih ramai dari biasanya. Di ujung lorong sempit yang bau bawang dan ikan asin, aku melihat Pak Gimin, pedagang langganan yang jualan sayur dari gerobak kecilnya. Usianya mungkin lebih tua dariku, tapi semangatnya luar biasa. Rambutnya mulai memutih semua, tapi matanya tetap tajam, apalagi kalau menghitung kembalian.

"Wah, Pak Darto! Mau belanja atau mau nyari alasan buat enggak pulang duluan?" sapa Pak Gimin sambil melepas tawa.

Aku ikut tertawa. "Campur, Pak. Tapi jangan bilang ke istri saya. Nanti saya dikira keluyuran."

"Tenang, rahasia dijamin aman. Tapi kalo beli cabai doang, bonusnya saya kasih cerita hidup saya minggu ini, gimana?"

"Wah, justru itu yang paling mahal," jawabku sambil memilih cabai rawit.

Pak Gimin mulai bercerita tentang anaknya yang baru lulus SMA tapi bingung mau kuliah di mana, tentang istrinya yang kemarin protes karena dia lupa ulang tahun pernikahan, dan tentang seekor ayam tetangga yang entah kenapa tiap pagi nyasar ke lapaknya dan bikin kacau dagangan.

"Saya bilang ke istri, 'Ma, saya lupa bukan karena enggak sayang, tapi karena otak saya sekarang isinya harga tomat, bukan tanggal-tanggal romantis.' Dia bilang, 'Kamu tuh, ya, romantisnya kayak talenan—keras dan dingin!'"

Kami tertawa bareng. Ada banyak jenis pedagang di pasar, tapi pedagang seperti Pak Gimin itu istimewa. Dagangannya memang sederhana, tapi cerita dan tawanya sungguh luar biasa.

Sebelum pergi, Pak Gimin memberi aku dua tomat tambahan. "Bonus, buat istri di rumah. Bilang dari Pak Gimin yang masih berjuang mempertahankan cinta meski sering lupa tanggal."

Aku mengangguk. "Makasih, Pak. Saya doain kita sama-sama enggak lupa belanjaan dan juga enggak lupa jadi suami yang baik."

"Amin! Tapi jangan lupa bayar juga, Pak. Ini pasar, bukan mimpi," katanya sambil tertawa lagi.

***

Keluar dari pasar, langit mendadak gelap. Angin bertiup kencang, dan tak lama kemudian, hujan turun deras. Aku lari kecil sambil menenteng plastik belanjaan, mencari tempat berteduh. Di bawah atap toko yang tutup, aku berhenti, napas ngos-ngosan. Di sini sudah ada dua orang bapak-bapak lain yang juga neduh.

Salah satunya Pak Roni, tetangga blok sebelah. Satunya lagi, aku kenal dari musala, namanya Pak Jo, pensiunan guru.

"Wah, Pak Darto juga kena jebakan alam ya," sapa Pak Roni.

"Iya, Pak. Baru belanja, belum sempat nyelipin payung di tas. Habis gelap terbit hujan, katanya."

Kami semua tertawa kecil.

Pak Jo nyeletuk, "Hujan itu romantis kalau yang nemenin istri. Kalau sesama bapak, ya jadinya ngeluh dan curhat begini."

"Setuju!" seru Pak Roni. "Tadi istri saya sempet bilang, 'Kalau hujan, jangan lupa bawa hati-hati dan sayangku, ya.' Tapi yang saya bawa malah keresek bolong."

Obrolan kami makin hangat. Dari hujan, nyambung ke harga sekolah, tagihan listrik, hingga cerita lucu waktu salah satu dari kami lupa ambil anak di les dan malah pulang sendiri sambil nyantai nonton bola.

"Saya tuh, Pak," kata Pak Jo, "Kadang iri sama anak muda sekarang. Tapi pas liat tagihan mereka di aplikasi pinjaman online, saya bersyukur hidup saya cuma ribet di panci gosong."

Hujan akhirnya reda. Kami bertiga lanjut jalan bareng sambil tertawa-tawa. Di pertigaan, kami saling pamit dengan beban pikiran yang lebih ringan.

Sampai rumah, Dinda sudah menunggu di depan pintu, membawa gambar dinosaurus warna-warni. "Ini namanya Dinosaurus Pelangi, Ayah! Dia bisa terbang dan nyanyi lagu TikTok!"

Aku pura-pura kaget, "Wah, hebat banget! Lebih keren dari dinosaurus ayah dulu."

***

Malam hari, sehabis anak-anak tidur, aku dan Sari duduk di teras. Radio muter lagu lama: "Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu..."

Sari nyeletuk, "Duh, lagu ini! Kamu inget enggak waktu kita naik motor pinjeman, ngelewatin jalan becek, terus kepleset gara-gara ban belakang selip?"

Aku ketawa. "Inget banget! Celana aku robek, kamu ketawa sampe cegukan."

"Tapi aku masuk angin tiga hari loh. Gara-gara kamu maksa boncengin aku tanpa jas hujan."

"Aku juga masuk angin. Tapi seneng. Karena kamu masih mau dibonceng sama aku, padahal motorku ngeng-nya kayak nyamuk batuk."

Kami tertawa kecil. Lampu teras kuning redup, suara jangkrik, dan aroma kopi masih tersisa.

Lalu Sari bertanya pelan, "Kamu pernah nyesel nikah sama aku?"

Aku menoleh, sejurus ke arah netranya. "Eggak pernah, Bu. Cuma kadang nyesel, kenapa dulu enggak nikahin kamu lebih cepet."

Dia tersenyum, matanya agak berkaca-kaca.

"Kita enggak kaya, Bu. Tapi lihat anak-anak. Lihat rumah kecil kita yang tiap malam penuh tawa. Aku capek tiap hari, tapi setiap duduk di sini, sama kamu, semua rasa lelah itu terbayar lunas."

***

Sekitar pukul sembilan malam, tetanggaku, Pak Slamet, datang bawa kopi instan dan dua gorengan. Kami duduk bertiga di terasa—aku, dia, dan Sari yang sesekali nimbrung sambil membawa camilan tambahan.

"Pak Darto, kenapa kamu enggak jadi penyanyi dangdut aja?" tanya Pak Slamet tiba-tiba.

Aku tertawa terbahak-bahak. "Kalo suaraku enggak mirip pager kegencet, mungkin aku bisa coba, Met. Tapi sekarang, cuma nyanyi sebentar saja, anak-anakku langsung tutup telinga."

Pak Slamet ikut tertawa. "Kalau saya tuh dulu bercita-cita jadi pelukis. Sekarang yang sering saya lukis ya cuma tembok bocor pakai cat sisa proyek RW."

Kami tertawa lagi. Obrolan ngalor-ngidul, dari harga beras sampai sinetron favorit istri.

"Tapi ya, Pak Darto," kata Pak Slamet agak serius, "Saya tuh kadang mikir, hidup ini cepet banget. Anak saya yang dulu suka minta gendong sekarang udah jarang pulang. Dulu saya suka ngeluh capek kerja, sekarang saya malah kangen capek karena mereka."

Aku terdiam, lalu menatap langit gelap.

"Iya, Met. Saya juga gitu. Tiap hari ngeluh capek. Tapi tiap anak peluk, tiap istri senyum—rasanya kok ya, seperti semua masuk akal."

Kami duduk lama malam itu. Tidak ada yang heroik. Tidak ada kisah besar. Hanya dua bapak-bapak yang sadar, bahwa jadi lelaki bukan soal kuat angkat galon, tapi kuat bertahan walau sering tidak terlihat.

Aku, Darto, bapak-bapak biasa. Tapi malam itu, di bawah bintang yang malu-malu, aku merasa seperti raja. Di kerajaan kecil bernama rumah.

***TAMAT***


 WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak menyalin dan menjiplak apa pun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem sastra yang baik di tanah air. Terima kasih.

TTD

Van Raja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selumbari untuk Lusa

Anak F

Ibu Lupa Pulang

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *