(CERPEN) Namanya Ethan
Namanya Ethan. Wajahnya yang tampan dan proporsional membuat dia terlihat seperti sosok dari majalah mode. Matanya yang biru menawan, dengan bulu mata yang lentik dan alis yang berbentuk sempurna. Hidungnya yang tinggi dan runcing menambah kesan maskulin pada wajahnya yang sempurna. Bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda lembut, membuatnya terlihat sangat menawan ketika tersenyum.
Namanya Ethan. Tubuhnya tinggi dan tegap. Rambutnya yang hitam berkilau dan sedikit bergelombang, dibiarkan tergerai bebas di sekeliling wajahnya yang tampan. Kulitnya yang bersih dan tanpa cela terlihat seperti sutra putih yang halus, menambah kesan elegan pada penampilannya. Dalam sekejap mata, wajah tampan Ethan telah membuat hatiku berdebar-debar.
Melihat Ethan mengingatkanku pada kejadian empat hari lalu. Kejadian yang membuatku berpikir bingung karena dihadapkan dengan dua pilihan besar.
“Selamat pagi anak-anak,” ucap Bu Sri -guru seni budaya- mengawali pembelajaran. Bu Sri okuler mengenggam tongkat kayunya seperti lasah. Bu Sri memiliki rambut panjang yang tergerai dengan indah di sepanjang bahu, dan senyum yang hangat terukir di wajahnya. Kulitnya yang halus dan bersih menambah kesan kecantikan dan profesionalisme pada dirinya.
“Selamat pagi, Bu,” jawab kami secara serempak.
Kepala kami turun naik, pertanda grahita akan pemaparan Bu Sri.
Waktu terus berjalan, melahap tiap detik peristiwa yang dialami manusia. Bu Sri sedari tadi membacakan anggota tiap kelompok. Hingga sebuah teriakan keras menggelegar di udara.
“Apa?” ucap seseorang dari kursi belakang. Tanpa melirik sekalipun, aku tahu bahwa itu suara Ethan. Suaranya sedikit serak namun tetap lembut di telinga.
Sepersekian detik kemudian, seluruh pandangan tertuju pada Ethan, kecuali diriku. Aku benar-benar gugup tiap kali menatap Ethan. Ethan sungguh pria dalam list idamanku.
“Apa masalahnya jika kamu dan Clara berada dalam satu kelompok?” Tanya Bu Sri bingung.
Aku meneguk ludah. Apakah Ethan tidak menyukai diriku? Bahkan Ketika ditaruh dalam satu kelompok, dia tetap memberi penolakan.
Ethan terlihat linglung. Dia meremas-remas rambutnya, mencoba mengendalikan situasi. “Tidak, Bu. Ethan hanya terkejut saja,” jawab Ethan sembari menghela nafas panjang.
Aku mencoba abai dengan memaksa pulpen menari tanpa arah di atas kertas. Hingga waktu pembacaan kelompok usai, semua siswa puntang panting bergabung dengan kelompoknnya.
Sharla-ketua kelompok-berdeham kecil, hendak memulai pembicaraan. “Aku mempunyai ide terkait penampilan kelompok kita untuk ujian seni budaya minggu depan. Bagaimana jika kita menari? Sangat unik jika kita meliuk-liukkan badan dengan irama musik yang indah.”
Aku menganggukkan kepala, memberikan pandangan positif dengan wajah terbuka dan bersahabat. Fey-teman satu kelompok-juga ikut menganggukkan kepala. Namun ide kreatif itu ditolak mentah-mentah oleh tiga pria di depanku, Clay, Thony, dan si tampan Ethan.
“Big no,” ucap mereka serempak. “Bagi kami itu bukan ide yang bagus. Itu terlalu feminim, kurang universal,” tambah Clay kemudian.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba mencerna kalimat Clay. Kalimatnya lebih terarah pada perasaan malu tampil di depan kelas dan feminisme hanya embel-embel belaka.
“Bagaimana dengan pentas musik. Aku bisa memainkan drum, dan teman cowok lain bisa bermain gitar dan organ,” tanya Clay.
Ethan menganggukkan kepala, dengan sigap ia menyetujui ide Clay. Aku tahu kalau Ethan adalah pemain gitar yang handal. Dia bergabung dalam ekstrakulikuler band di sekolah.
Aku mengukir senyum kala bibir terlipat ke atas. Sepersekian detik kemudian, aku mengangkat tangan untuk mengajukan pendapat.
“Aku minta maaf, Clay. Tapi di antara anggota kelompok perempuan, tidak ada yang bisa bernyanyi. Jadi mungkin hasilnya kurang bagus jika dipaksakan,” ucapku kemudian. “Saran saya, bagaimana dengan menari saja? Itu bukan hal yang sulit dan semua orang bisa belajar dengan cepat.”
Wajah Clay terlihat murung dan tegang, sepertinya ia tidak menyetujui pendapatku. Atau mungkin ada pendapat lain yang hendak dia paparkan.
“Tapi itu terlihat aneh, Clara. Maksudku invers dengan kami para pria. Gue gak bisa bayangin kami bertiga goyang-goyang aneh di depan kelas,” ucap Clay. “Bagaimana pendapat kalian?” tanyanya pada dua pria di sebelah kanan dan kiri.
Aku meneguk ludah, sembari menunggu jawaban dari Thony dan Ethan. Namun momen aneh terjadi pada sepersekian detik kemudian.
Ethan menggelengkan kepala. Aku bingung entah roh apa yang merasuki Ethan sehingga petuah Clay berhasil dia tolak.
“Are you serious?”
Aku memandang wajah Ethan. Wajahnya yang tampan dan rapi terlihat kacau saat dia kebingungan. Matanya yang tajam dan hidungnya yang mancung terlihat tidak tenang saat ia mencoba memahami situasi di sekitarnya. Alisnya yang tebal sedikit terangkat, membuat wajahnya terlihat sedikit terkejut. Namun, meskipun terlihat bingung, wajahnya masih tetap menawan, dengan senyum yang menarik dan gigi yang putih dan rapi.
“Eh, iya. Pendapat Clara itu benar, Clay. Melatih bernyanyi membutuhkan point ekstra dibanding menari.” jawab Ethan. Suaranya terdengar gemetar, dan beberapa kata keluar dengan cepat tanpa teratur. Meskipun suaranya gugup dan gemetar, Ethan berusaha tenang dan fokus pada apa yang ingin ia sampaikan.
“Melatih vokal sungguh-sungguh membutuhkan effort yang lebih besar, karena-“
"Tunggu, tunggu, tunggu," potong Clay secara tiba-tiba. "Lo suka Clara, kan?" ucapnya tajam yang membuat aku terperangah seketika.
Aku terbelalak kaget. Ruang kelas berdinding batu bata itu serasa penuh oleh atmosfer kegugupan. Aku menundukkan kepala, memaksa kedua netra untuk memandang lantai putih. Kedua tanganku terkatup rapat di atas pangkuan, diikuti oleh wajah putih yang memerah seketika.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Momen ini benar-benar menghantui diriku. Bahkan ketika waktu terus berjalan, aku semakin gugup kala berpapasan dengan Ethan. Sampai-sampai menatapnya saja aku tidak berani. Ethan benar-benar menghipnotis diriku.
***
Keindahan Danau Toba yang tampak dari rooftop sekolah selalu berhasil menarik perhatian. Danau vulkanik itu terlihat begitu tenang dan damai dengan airnya yang biru jernih bak kristal. Keindahannya tampak seperti permata di antara pegunungan hijau.
Pemandangan indah itu berhasil kalah oleh sinar matahari yang membakar kulit habis-habisan. Udara terasa kering dan pengap, seolah-olah tidak ada angin yang berhembus. Langit biru cerah, tanpa satu pun awan di sana. Cahaya matahari yang terang membuat pandangan mata siapa saja terasa silau, sehingga meninggalkan rasa perih di netra.
Pelajaran di sekolah saat ini adalah olahraga. Sejak tadi kami sudah selesai melaksanakan praktek, dan kini adalah waktu istirahat sebelum pelajaran selanjutnya mulai. Waktu adalah uang, kami memutuskan untuk berdiskusi tentang tugas kelompok seni budaya.
Seperti biasa, Syarla memulai diskusi dengan berdeham. “Bagaimana dengan hapalan tarian untuk ujian lusa? Harapan gue semoga ada perkembangan.”
“Gue udah 98 persen, Syar. Dua persen lagi tinggal menghatamkan bagian yang kaku,” balas Thony.
“Gue juga udah lumayan lancar. Ya, meskipun kadang oleng tapi udah bisa diakumulasi jadi 95 persen,” tambah Clay.
Aku melirik ke arah Ethan. Rambut hitamnya yang tumbuh dengan sempurna dibiarkan tergerai liar di sekeliling wajahnya yang tampan. Karena keringat, rambutnya sedikit basah dan tampak lebih berkilau dan terlihat lebih menarik. Wajahnya yang tegas, namun tetap terlihat hangat dan bersahabat membuat aku ingin berlama-lama menatapnya.
Wajah Ethan kembali gugup. Sepertinya dia belum hapal gerakannya.
“Kalau gue masih butuh banyak Latihan, Syar. Tapi janji bakal gue bakal hapal kok,” ujar Ethan. Bola matanya yang biasanya bersinar kini tampak sayu dan murung. Bibirnya terlihat terkatup erat, menunjukkan betapa sedihnya hatinya. Apakah Ethan berfikir dia beban kelompok?
Clay tertawa kecil. ”Kok Lu jadi murung gitu? Jangan jadikan beban, bro. Bagaimana kalau Lu minta tolong Clara untuk ajarin, dijamin hatam,” ucapnya memancing perkara untuk kesekian kalinya.
Aku menatap ke arah Ethan. Bola matanya terlihat tajam menatap Clay, bak singa yang tengah mengejar mangsa. Nafasnya bergerak cepat bersamaan dengan alis yang mengerut penuh ketegangan. Ethan benar-benar benci perjodohan ini.
Di bawah terpaan matahari aku menarik nafas panjang. Dengan segala keberanian dalam diri aku mulai bertutur kata. “Boleh, Clay,” ucapku lembut dengan tangan yang sedikit gemetar.
Aku menatap wajah Ethan sekali lagi. Ada sedikit kebahagiaan muncul dalam hati setelah melihat air muka Ethan yang memerah.
Clay Kembali menampilkan tawa, diikuti Thony, Syarla, dan Fey. Sepertinya Ethan mulai menyukai diriku.
***
Suara bel pulang sekolah yang berdentang keras menggetarkan seluruh gedung sekolah. Siswa-siswa yang telah lama menunggu momen ini segera bersiap-siap untuk pulang. Terdengar suara riuh dari kerumunan siswa yang bersiap-siap meninggalkan kela mereka. Beberapa siswa berteriak dengan senang hati, seakan-akan terbebas dari belenggu tugas dan pelajaran di sekolah. Namun, ada juga siswa yang tampak sedih karena harus berpisah dengan teman-teman mereka.
Sesuai janji di rooftop, sore ini akan aku habiskan bersama Ethan untuk latihan menari di rumah. Aku sedikit gugup membayangkan momen berduaan nantinya. Apakah ini akan menciptakan momen yang indah, atau malah perseteruan untuk pertama kali.
Aku berjalan gontai di sebelah Ethan. Aku baru sadar ternyata tinggi badanku tepat sebahunya.
Sudah tujuh menit waktu berjalan, namun untaian kata belum terucap di antara kami. Ada rasa ingin memecah keheningan ini, namun menatap wajah kosong Ethan membuatku mengurungkan niat. Hingga sekejap waktu, Ethan akhirnya memulai pembicaraan.
“Bagaimana pelajaran tadi?” Tanyanya sejurus kepadaku. Aku sedikit kikuk dan bingung dengan jawaban dari pertanyaan Ethan.
“Seperti hari-hari biasa,” jawabku singkat. Aku meneguk ludah sembari merapal doa-doa agar pertanyaanku tidak terdengar seperti pertanyaan anak SD.
Ethan menatapku lamat-lamat yang segera kubalas dengan membuang muka. Wajahnya kian tampan di bawah terik matahari.
“Untuk tugas matematika, apa kamu dapat nilai A?’’ tanyanya lagi.
“Iya,” jawabku. Apakah aku terlalu jahat karena memberikan pertanyaan sependek ini?
Ethan mengukir senyum di lipatan bibirnya. Setiap kali dia tersenyum, bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda itu menunjukkan bahwa dia adalah pria yang penuh dengan kebaikan dan kehangatan. Tentu hatiku semakin berdebar-debar.
“Itu nilai yang bagus, Clara. Bagaimana dengan reaksi orangtua mu saat mendengarnya?”
Aku terbelalak kaget. Tubuhku kaku seketika, serasa ada ikatan kuat yang mengelilingi tubuhku. Wajahku perlahan padam, diikuti tampilan momen keji bersama orangtua yang terlintas di benak.
“Maaf, sepertinya kalimatku salah. Aku minta maaf, Clara,” ucap Ethan pelan.
“Tidak ada yang salah dengan pertanyaan mu. Aku hanya terkejut dengan antusiasme-mu,” jawabku sambal berusaha mengukir senyum paling manis yang aku punya. Bagaimanapun, Ethan tidak bersalah atas pertanyaan itu. Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang masalahku.
Ethan tertawa kecil, membuatku ingin merekam dan melihatnya untuk durasi yang panjang. ”Aku hanya menerka, sepertinya orangtua mu tidak seheboh yang kupikirkan. Maksudku, kamu adalah wanita jenius dan mendapat nilai A sudah makananmu sehari-hari,” tutur Ethan.
”Namun fakta hebat itu berbeda dengan diriku. Ya, saat tugas matematika ku mendapat nilai A untuk pertama kali, mama dan papa sontak bersorak gembira. Bahkan kebahagiaan itu di luar ekspektasiku. Karena selepasnya kami dinner di salah satu hotel di Prapat.”
Aku terkejut mendengar pujian dan cerita Ethan. Namun, ada perasaan bahagia juga karena Ethan berani menceritakan pengalamannya. Aku mengukir senyum, menunjukkan antusias terhadap ceritanya.
“Kamu hebat,” ucapku penuh semangat sambal tertawa kecil. Semoga kamu paham semuanya, Than.
***
Namanya Ethan, seorang pria yang memenuhi buku diariku sejak dua tahun lalu. Walaupun waktu terus berjalan tanpa henti dan belas kasihan, perasaan untuk dirinya masih kekal hingga saat ini. Entahlah. Tiap bibirnya yang tipis mengukir senyum, seolah-olah dunia ini menjadi indah dan damai.
Namun ujian perasaan mendadak muncul. Ketika aku duduk berdua dengan seorang pria di teras rumah, aku menangkap Ethan tengah menilik ke arahku lewat jendela rumah. Wajah tampannya mendadak muram, diikuti bola matanya yang kini redup dan tidak bercahaya. Ethan tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya.
Namanya Ethan. Pria tampan dengan jati diri yang berbeda dari biasanya. Apakah kamu sungguh-sungguh menyukaiku, Than?
*TAMAT*
WARNING!
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar