(CERPEN) Namanya Clara
Bagaimana cara saya mendeskripsikan aura elegannya? Kata-kata sepertinya tidak cukup untuk mengungkap semuanya.
Namanya Clara. Seorang wanita dengan netra sayup yang selalu menarik perhatianku. Tingginya sebahuku dengan rambut pendek sebagai mahkota kepala. Pipinya tirus dengan ornamen lesung pipi yang berpendar kala gerak tawa ekspresif tanpa suara terukir pada bibir ranumnya.
Namanya Clara. Seorang wanita cantik dalam bentuk dan buatan dengan postur tubuh yang tegap dan gerakan yang halus. Ia adalah teman sekelasku dan selalu menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi dengan gaya yang elegan. Tatapan matanya yang lembut namun tajam, suaranya yang merdu dan berwibawa membuatnya terlihat sangat menawan.
Perasaan gagap timbul tanpa henti kala duduk berdekatan dengan dia. Bahkan simposium epidermis saja telah berhasil membuatku panas dingin, seolah-olah aku ingin tenggelam pada rasa ingin memiliki. Teringat saat tugas kelompok materi seni budaya. Entah keberuntungan darimana, tapi Ibu Sri memasangkan diriku dengan Clara dalam satu kelompok.
“Apa?” Teriakku spontan dengan volume yang besar. Sepersekon kemudian, sejurus tatapan mata seluruh siswa tertuju padaku.
“Apa masalahnya jika kamu dan Clara dalam satu kelompok?” Tanya Bu Sri bingung.
Aku seketika linglung. Ingin mengantongi wajah, efek perasaan malu telah bertingkah konyol seperti ini. Padahal, tiap kelompok bukan beranggotakan dua orang saja.
“Tidak, Bu. Saya hanya terkejut saja,” jawabku pasrah seraya mengarahkan pandangan ke kursi Clara. Sayangnya, Clara tak menatap ke arahku sama sekali.
Waktu pembacaan anggota kelompok usai. Semua siswa menggeleser cergas menghampiri kelompok masing-masing arkian menaja diskusi yang seru.
“Aku ada ide terkait penampilan kita untuk ujian minggu depan. Bagaimana dengan tarian? Akan sangat unik jika kita bisa meliuk-liukkan badan dengan irama musik yang indah,” usul Sharla, temanku yang juga menjadi ketua kelompok.
“Big no,” tolak kami-para pria-secara serempak. Tiap kelompok beranggotakan enam orang, dengan masing-masing tiga pria dan tiga wanita.
“Bagi kami itu bukan ide yang bagus. Itu terlalu feminim, kurang universal,” sanggah Clay. “Bagaimana dengan pentas musik. Aku bisa memainkan drum, dan teman cowok lain bisa bermain gitar dan organ.”
Aku menganggukkan kepala, pertanda setuju dengan pernyataan Clay.
Clara mengukir senyum manisnya, memamerkan barisan gigi yang tumbuh rapi. Aku terkesima dan bola mataku terfokus menatapnya, serasa terhipnotis. Clara mengangkat tangan, hendak memberi pendapat.
“Maaf, Clay. Tapi di antara anggota kelompok perempuan, tidak ada yang bisa bernyanyi. Jadi mungkin hasilnya kurang bagus jika dipaksakan,” ucapnya kemudian. “Saran saya, bagaimana dengan menari saja? Itu bukan hal yang sulit dan semua orang bisa belajar dengan cepat.”
Clay mengernyitkan dahi, sembari memikirkan baik buruk pernyataan Clara. “Tapi itu terlihat aneh, Clara. Maksudku invers dengan kami para pria. Gue gak bisa bayangin kami bertiga goyang-goyang aneh di depan kelas,” ucap Clay. “Bagaimana pendapatmu dan Thony?” tanyanya kemudian kepada kami.
Sepersekian detik kemudian, aku menggelengkan kepala spontan. Entah roh halus apa yang merasuki, bisa-bisanya aku menolak petuah Clay.
Semua anggota kelompok terbelalak kaget melihat gerak-gerikku yang tiba-tiba.
“Are you serious?”
Aku menggigit bibir. Atmosfer kegugupan menguasai benakku. Sikapku ini semakin menampakkan perasaan suka yang selama ini kupendam pada Clara. Sial.
“Eh, iya,” jawabku asal. Kegugupan benar-benar menguasai diriku. “Pendapat Clara itu benar, Clay. Melatih bernyanyi membutuhkan point ekstra disbanding menari. Melatih vokal sungguh-sungguh membutuhkan effort yang lebih besar, karena-“
"Tunggu, tunggu, tunggu," potong Clay. "Lo suka Clara, kan?" ucapnya tajam yang membuat aku terperangah seketika. Sialan, mana Clara dengar lagi.
Sejak kejadian itu dunia serasa jahat terhadapku. Senyum Clara seolah menghilang Ketika kami saling berpapasan. Bahkan Ketika kumpul saat free kelas atau mengisi perut di kantin, aku tak pernah menangkap dia memandang diriku. Satu hal yang otakku simpulkan, dia benar-benar kesal dan Clay benar-benar merusak semuanya.
***
Pemandangan indah Danau Toba terpancar dari rooftop sekolah. Air hijaunya memantulkan langit biru yang cerah di atasnya. Beberapa kapal tampak berlayar di atas air yang tenang sementara para nelayan memancing ikan dengan penuh semangat.
Namun, suasana yang indah itu tidak mampu mengalahkan panasnya terik matahari. Posisinya sudah tegak di atas kepala, memancing keringat untuk keluar membasahi tubuh. Siang ini benar-benar panas sekali.
“Bagaimana dengan hapalan tarian untuk ujian lusa? Harapan gue semoga ada perkembangan”, tutur Syarla. Kami memutuskan berdiskusi di sela-sela penantian bel berbunyi untuk materi pelajaran berikutnya.
“Kalau gue udah 98 persen, sisanya hanya menghatamkan yang masih kaku,” balas Thony.
“Kalau gue masih butuh banyak Latihan, Syar. Tapi janji bakal gue bakal hapal kok,” ujarku dengan raut kecewa.
Clay tertawa kecil. ”Kok Lu jadi murung gitu? Jangan jadikan beban, bro. Bagaimana kalau Lu minta tolong Clara untuk ajarin, dijamin hatam,” ucapnya memancing perkara untuk kesekian kalinya.
Gue menatap Clay dengan tajam, ingin rasanya mendaratkan tinjuku tepat di bola matanya.
“Boleh, Clay,” ucap Clara yang membuat emosi di kepalaku redam seketika. Tanganku tiba-tiba gemetar, serasa ada yang menghantarkan listirk. Apakah itu sungguhan?
Clay Kembali menampilkan tawa, diikuti teman sekelompok yang lain. Sontak pipiku memerah, pertanda perasaan malu menguasai diri. Sial, mereka benar-benar mengolok-olokku.
***
Bel sekolah terdengar lantang berbunyi. Bahanya menggelegar menelusuri setiap sisi sekolah. Waktu pulang telah tiba, aku bergegas menyimpan seluruh perlengkapan.
Dilema terbesit dalam hati. Bingung antara merasa senang dan sedih. Senang karena sore ini aku akan menghabiskan waktu bersama Clara, namun sedih karena takut Clara akan menatap aneh dengan sikap gugupku yang tidak terkontrol saat berduaan dengannya. Bahkan senyum dirinya dari kejauhan saja berhasil membuat diriku berbinar-binar, padahal senyumnya bukan dilempar untukku.
Aku berjalan di sebelah Clara. Posisi ini sudah berjalan tujuh menit, tapi percakapan ringan belum muncul di udara. Aku benar-benar gugup.
“Bagaimana pelajaran tadi?’ ucapku asal sembari berharap pertanyaanku tidak terdengar seperti yang dilontarkan anak kecil.
“Seperti hari-hari biasa,” jawabnya singkat, yang membuatku menghela nafas panjang. Apakah Clara masih marah dengan tingkah bodoh Clay saat diskusi kelompok.
Aku meneguk ludah. “Untuk tugas matematika, apa kamu dapat nilai A?’’ tanyaku melanjutkan perbincangan- walau sebenarnya sudah tahu jawabnnya. Clara ranking dua di kelasku dan untuk nilai A sudah hal lumrah baginya.
“Iya”
Lagi-lagi Clara memberikan jawaban yang pendek. Padahal ada harapan terbersit di hati agar dia juga menanyakan hal yang sama padaku.
Aku mengukir senyum di bibir, terpaksa. “Itu nilai yang bagus, Clara. Bagaimana dengan reaksi orangtua mu saat mendengarnya?” tanyaku lagi sembari berharap Clara juga menanyakan sesuatu padaku.
Namun ada ekspresi berbeda yang terpancar dari wajah wanita cantik itu. Mukanya padam, seolah-olah ingin menenggelamkan ekspresinya ke tempat yang lebih dalam. Sepertinya tutur kataku berbuah pahit.
Aku menggigit bibir. Atmosfer kecemasan bergejolak di dada. “Maaf, sepertinya kalimatku salah. Aku minta maaf, Clara,” ucapkuku pelan.
Clara mengukir senyum, sepertinya terpaksa. Dia kemudian menganggukkan kepala.
“Tidak ada yang salah dengan pertanyaan mu. Aku hanya terkejut dengan antusiasme-mu,” jawabnya sambal tersenyum menatapku.
Ibarat hari-hari yang lalu, wajahku berser-seri dengan cepat. Senyuman Clara yang akhrinya ditujukan kepadaku tepat di hadapanku sungguh-sungguh menghipnotis diriku. “Indah sekali wanita ini”, ucapku dalam hati.
Aku tertawa kecil, mencoba membuang perasaan aneh dalam diri. ”Aku hanya menerka, sepertinya orangtua mu tidak seheboh yang kupikirkan. Maksudku, kamu adalah wanita jenius dan mendapat nilai A sudah makananmu sehari-hari,” tuturku.
”Namun fakta hebat itu berbeda dengan diriku. Ya, saat tugas Matematika ku mendapat nilai A, mama dan papa sontak bersorak gembira. Bahkan kebahagiaan itu di luar ekspektasiku. Karena selepasnya kami dinner di salah satu hotel di Prapat.”
Clara tampak terkesima arkian ikut tertawa. “Kamu hebat”, ucapnya penuh semangat yang membuatku hilang arah. Gelak tawanya sungguh-sungguh menghipnotis diriku.
***
Namanya Clara, seorang perempuan cantik yang sudah lama aku idamkan sejak dua tahun lalu. Meski waktu terus berlalu, perasaan yang terpendam di dalam hati tetap enggan hilang begitu saja. Senyumannya selalu berhasil menghipnotis diriku, membuatku terbuai dan gugup ketika berdekatan dengannya.
Namun perasaanku telah berubah, meskipun tidak sepenuhnya. Bayangan peristiwa indah ketika kami menghabiskan waktu bersama di rumahnya saat latihan tari tiba-tiba hilang dan tergantikan dengan momen mesranya Clara dengan seorang pria yang datang dengan sepeda motor besar di teras rumahnya. Mereka terlihat akrab dan mesra, meski aku tidak tahu apa yang sedang mereka bahas.
Namanya Clara. Perempuan yang tampak berbeda dari biasanya. Perempuan yang membuat hatiku sakit untuk pertama kalinya.
*TAMAT*
WARNING!
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar