Behind The Cupboard
Matahari perlahan-lahan terbenam di ufuk barat, meninggalkan jejak cahaya jingga yang menawan. Pemandangan yang sebelumnya begitu terang dan hangat, kini terasa semakin tenang dan damai. Langit mengalami perubahan warna yang luar biasa, dari warna jingga yang hangat bertransformasi menjadi gradasi ungu yang gelap dan misterius.
Awan-awan di langit menambah keindahan matahari tenggelam, seperti lukisan yang terhampar di hadapan mataku. Beberapa burung terlihat terbang dengan tenang, menikmati keindahan alam yang tersaji. Angin yang bertiup pelan membawa aroma bunga dan rumput liar yang menyejukkan.
Sinar matahari yang semakin merah dan pudar perlahan-lahan hilang di balik cakrawala. Malam pun tiba dengan keheningan yang menawan. Cahaya lampu mulai terlihat, memunculkan bayangan-bayangan yang misterius. Seolah-olah alam sedang memberikan hiburan bagi yang merindukan ketenangan dan kedamaian.
Pada sisi yang lain, di balik rasa ketenangan itu, aku merenung pasti di hadapan jendela kamar. Aku duduk sendirian pada kursi roda, sambil menatap langit malam yang penuh bintang. Ya, kakiku sudah kehilangan kemampuannya untuk menapak jejak di bumi. Peristiwa itu terjadi dua tahun lalu, tepatnya pada penghujung tahun di sebuah kebun sayur, di belakang rumah.
Suasana kala itu mendukung untuk bercocok tanam, bahkan tawa ria tak menemukan ujung untuk berhenti. Hingga kecelakaan besar itu berhasil menggetarkan seluruh jiwa. Atmosfer kebahagiaan mendadak buyar, digantikan rasa panik dan ketakutan yang mencekam. Sepersekian detik kemudian, aku segera dilarikan ke rumah sakit. Namun, sang empunya diriku berkhendak lain dan derai air mata menjadi saksi bagaimana kedua kakiku harus dilakukan amputasi.
Aku tidak ingat persis penyebab kejadian yang mengubah hidupku 180 derajat. Aku hanya mengingat bayangan hitam dari jendela kamarku yang mengukir senyum indah. Aku sontak terbuai arkian membalas senyumannya. Hingga tanpa sadar, kakiku terperosok dalam mesin penggilingan kaktus.
Hidup terasa kembali seperti semula. Aku mulai belajar bagaimana cara berjalan, bahkan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Sepersekian detik waktu berjalan, bahana gemuruh dari kejauhan tiba-tiba terdengar. Suara itu bak petir yang menderu. Langit yang tadinya cerah, kini mendadak menjadi gelap gulita karena awan hitam yang menutupinya. Angin kencang mulai bertiup dengan cepat, membuat daun-daun pohon bergoyang hebat.
Aku reflek menggerakkan kursi roda sambil menutup rapat daun jendela. Hujan turun dengan derasnya, seperti gumpalan kapas putih yang jatuh dari langit. Petir yang menyambar-nyambar membuat suara dentuman keras terdengar di sekitar rumah. Suasana malam yang tadinya tenang dan sunyi, kini berubah menjadi menakutkan.
Aku menghela nafas Panjang. Setelah bersusah payah mengontrol tubuh, akhirnya aku berhasil merebahkan diri di atas kasur. Tentu aku dapat memanggil Bu Ina-pembantu rumah-untuk membantu, namun hal ini sudah biasa sehingga hatam aku lakukan.
Kamarku cukup luas dan terletak di ujung lorong gelap. Dinding kamar dihiasi dengan wallpaper berwarna pastel yang memberikan kesan yang hangat dan nyaman. Di tengah ruangan terdapat tempat tidur yang diberi hiasan bantal berwarna-warni, serta selimut berbulu yang terlihat sangat lembut dan nyaman untuk digunakan. Di sebelah kiri tempat tidur terdapat meja belajar yang dipenuhi dengan buku-buku dan aksesori seperti pensil warna dan pensil cetak. Tepat di depan tempat tidur, terdapat lemari pakaian yang penuh dengan pakaian cantik dan sepatu-sepatu dengan berbagai warna yang teratur rapi.
Aku melirik ke arah jam dinding. Jam menunjukkan pukul sepuluh, waktu tidur telah tiba.
***
Suara petir membelah malam dengan keras, memecah kesunyian yang sebelumnya meliputi sekitar. Kilat menyambar tanah dengan cahaya yang menakutkan, menerangi segala sudut yang tadinya gelap gulita. Aku merasakan setiap guncangan yang ditimbulkan oleh ledakan petir itu, seakan tanah di bawahku bergoyang hebat.
Suara gemuruhnya terus mengaum, membuatku merinding dan takut akan datangnya badai yang lebih buruk. Aku merasa terisolasi dari dunia luar, dan hampir tidak bisa merasakan lagi getaran-suara yang lain. Suara petir itu terus berdendang dengan gigih, membuatku takut untuk bergerak dan bicara. Bagaimanapun, suara petir itu terus bergema dalam pikiranku, membuatku terjebak dalam rasa takut yang mencekam.
Aku membuka mata arkian kaget melihat kegelapan yang menyelimuti seluruh ruangan. Aku meraba-raba, mencari saklar lampu di samping tempat tidur namun hasilnya nihil. Satu-satunya cahaya yang memasuki kamarku adalah cahaya remang-remang dari luar jendela. Aku merasakan kedinginan, dan melihat bahwa selimutku terjatuh di lantai.
Aku mencoba untuk bangkit dari kasur dan mengambil selimut itu, namun kaki dan tanganku terasa kaku dan lemah. Aku merasa tidak dapat bergerak dengan leluasa dan itu semakin memperparah ketakutanku. Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam diriku, dan keberadaan yang aneh di sekitarku semakin terasa. Meskipun aku mencoba untuk mengambil nafas dalam-dalam dan meraih selimut itu, rasa takut dan ketidaknyamanan semakin membelengguku. Akhirnya aku berhasil meraih selimut itu dan berusaha untuk mengembalikannya ke atas tubuhku.
Pada detik berikutnya, suara-suara aneh perlahan muncul dari balik lemari. Bahana itu kian nyaring dan semakin jelas terdengar. Aku merasa takut dan gemetar. Suara-suara aneh itu semakin kuat, dan akhirnya berubah menjadi suara ketukan dan raungan hantu yang begitu menyeramkan. Aku merasa seperti terjebak di dalam sebuah mimpi buruk dan tidak bisa terbangun darinya.
Sementara itu, angin juga berhembus dengan ganas di luar rumah, membuat daun-daun pohon bergoyang dan ranting-ranting bergeser satu sama lain. Suara gemuruh angin semakin kuat dan meraung-raung layaknya seruan dari dunia lain. Dan pada saat itu, aku merasakan keberadaan yang tidak terlihat. Ada sosok aneh yang mengintip dari balik kabut putih, di tengah-tengah kerumunan daun yang berputar-putar akibat hembusan angin yang keras.
Aku melihat sosok hantu yang memperlihatkan wujudnya dengan jelas. Rambutnya yang panjang bergoyang-goyang, berikut dengan gaun putihn berkibar dengan lembutnya. Sosok itu menatapku dengan tajam, membuatku merinding hingga ke tulang sumsum. Suasana di malam itu begitu mencekam, tak ada suara selain dentingan ranting dan suara pelan yang terdengar dari arah kabut putih. Aku hanya bisa berharap untuk bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.
Aku meneguk ludah, sambil bibirku komat-kamit melapalkan doa-doa. Sosok dalam putaran angin itu kian mendekat ke arahku, sampai-sampai gorden merah penutup jendela terhempas dari ikatannya. Terdengar suara gemeretak yang semakin membuat bulu kudukku merinding. Aku merasa takut, namun tidak bisa bergerak atau berbicara. Sosok itu semakin dekat, dan wajahnya terlihat jelas.
Aku berusaha menutup mata, namun sosok itu semakin dekat. Aku berteriak histeris, namun tidak ada suara yang keluar dari mulut. Aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak bisa dikendalikan. Sepersekon kemudian, sosok itu menghilang begitu saja. Aku terbujur lemah di tempat tidur, akal sehatku belum mampu mencerna semuanya.
Namun hal buruk itu belum menemukan batas. Tiba-tiba lemari tua di depan kasur bergoyang ria, sembari mengeluarkan bunyi nyaring yang menakutkan. Aku sontak bangkit untuk mendudukkan tubuh.
Dari balik lemari muncul sosok hitam yang menyeramkan. Bola matanya merah menyala, dan mengeluarkan suara sangar penuh amarah. Aku merinding dan menangis tiada henti. Atmosfer ketakutan benar-benar memenuhi isi kamar. Aku ingin keluar dari tempat ini, namun kakiku yang lumpuh menghambat semuanya.
Hantu hitam itu telah tiba tepat di depan wajahku. Tatapan tajam dari sudut matanya membuat bulu kudukku merinding. Tubuh hantu itu tampak membisu, tetapi aura yang menyeramkan terasa begitu kuat, membuat tubuhku diam tak bergerak. Seperti melihat ke dalam kegelapan yang mengerikan, aku merasa seperti disedot keluar dari dunia nyata.
Hantu hitam itu lantas membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara yang berdentingan, menambah persentase ketakutan dalam diriku. Dalam gelap yang menyelimuti ruangan, tubuh hantu itu terlihat seperti bayangan yang menyeramkan. Dengan tangan yang panjang dan seram, hantu itu meraih tubuhku, arkian menariknya ke dalam lemari yang terbuka. Aku berusaha berontak, tetapi semakin bergerak, semakin kuat pula genggaman hantu itu. Hingga tenagaku habis, tubuhku berhasil ia raih.
Sesampainya di dalam lemari, aku merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seperti udara kematian yang menghantui. Sementara itu, hantu hitam itu meluncur ke dalam gelap, membawa seluruh jiwaku bersamanya ke dunia yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian. Dalam kegelapan itu, suara gemuruh dan suara-suara aneh terdengar, membuat diriku semakin terjebak dalam ketakutan yang tak terkendali.
*TAMAT*
Baca Juga: (CERPEN) Anak Selokan
WARNING!
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar