(CERPEN) Kemarau Bulan September
Semilir angin meresap di kalbu. Bergentayangan ke segala arah, menubruk entitas tepat di wajahnya. Bak penguji bertenaga ekstra, dedaunan acap mengencangkan sabuk pengaman. Menandaskan tangkai erat-erat pada dahan yang ditumpanginya. Walakin, naluri lahiriah berkata lain. Satu per satu alat pengolah zat makanan tumbuhan itu berguguran, menimpa bumi.
Matahari cuek dengan sekitarnya. Kirana benergi dengan gerenyau menyuar permukaan bumi. Memancing peluh pekerja serabutan yang tengah mengaspal jalanan, juga para pedagang kaki lima yang berlaga demi sesuap nasi.
Pemandangan lumrah di bulan September. Bulan dengan seribu penat peluh yang menggetarkan hati. Tak ada genangan kasih, hanya rebakan rintih yang terisolasi. Tubuh berusaha celik, memaksa tiap organ bergiat elok. Walakin hati berontak kuat, menyokong penafsiran yang berparak.
Aku melirik ke segala arah. Menelaah tiap senti jalanan kota yang tiada habisnya dihajar kendaaraan. Tanganku sesekali mengibas, berharap semilir angin mau menyejukkan suasana. Siang ini sungguh beringsang.
Samar-samar aku menatap dari kejauhan. Sesosok pria berjaket kuning berjalan gontai ke arahku-sepertinya. Rambutnya terpotong undercut, menambah kesan rupawan. Kemeja abu-abu berbalut rompi hitam yang tersembunyi di balik jaketnya kian menyuguhkan aura berparak.
Aku meneguk ludah, berusaha menahan getaran hati yang semakin membludak. Kue persegi dengan dua lilin menyala di atasnya terlihat goyang, efek getaran tangan yang tak bisa aku hentikan.
Pria itu semakin dekat. Aku bisa ramal menit keberapa dia tiba di posisi ku.
“Satu, dua, tiga,..”
Dan Langkah terakhir, dia sudah tiba tepat di hadapanku.
Mataku nanar sekejap mata. Bagaimana tidak? Lesung pipi yang menghiasi wajah indahnya terlihat serasi. Ditambah rahang kokoh dan barisan gigi yang rapi benar-benar menujukkan kemewahan. Sial, aku terperangah beberapa menit hingga akhirnya ia menampar pipiku.
“Wanita gila! Apa yang kamu lakukan di sini!” ucapnya ketus.
Aku mengukir senyum, mencoba berbagi kebahagiaan denganya.
“Bulan September katanya bulan penuh kebahagiaan bagi seseorang. Dan seseorang itu tentulah dirimu, Vin!’ ucapku penuh kelembutan.
Pria tampan di hadapanku berkacak pinggang. Raut wajah penuh kekesalan tergambar di wajahnya.
“Secuil fakta bahwa saya bahagia. Namun kamu merusak kebahagiaan itu. Noda pekat yang bersunber dari dirimu benar-benar merusak kebahagiaan itu, Clar!’
Aku menghela nafas. Sesuatu dalam diri yang terpendam selama ini menujukkan eksistensinya. Emosiku berhasil terpancing.
Sepersekian detik kemudian aku bangkit berdiri. Memajukan Langkah, memposisikan diri sejurus di hadapnnya. Aku melontarkan tatapan tajam, memaksa dirinya bergidik.
“Bagaimana kamu bisa berfikiran seperti itu, Vin. Kepedulian apalagi yang harus tergambar di dalam hatimu?” ucapku sambal menjatuhkan kue persegi tepat di hadapnnya.
Kepasrahan berkelamut di dalam benak. Asa yang tertanam seolah rungkad dihadang batasan yang luluh. Telingaku sudah mencapai Batasan maksimum mendengar ocehan kotor dari seseorang yang secara hukum adalah suamiku. Pipiku yang menjadi sasaran tamparan dirinya ketika gila seolah mengambil haknya untuk terus bertahan dari gempuran.
“Brengsek,” ucap pria tampan dihadapanku. ”Bagaimana bisa seorang wanita lemah sepertimu bersikap demikian? Ingin mencoba variasi yang baru? Terlihat seperti komedi panggung.
Dan dia menampar pipiku sekali lagi.
Aku ingin melawan, namun sesuatu di dalam diri berkata lain. Tangan hendak melayangkan tinjuan, namun pikiran memaksanya untuk berhenti. Bahkan kedua kaki tidak sabar hendak menendang kemaluannya. Namun hal kecil dari lubuk hati memprotesnya dengan cepat.
Dia Kevin, si pria penyakitan.
***
Matahari Kembali menutup diri. Bersikap dewasa dengan membengkalaikan sang bulan memangku darma. Langit malam terlihat indah, berteman susunan bintang yang menggelegar di angkasa. Atmosfer hitam bersih. Tak ada segelintir awan yang menutupi kemegahannya.
Raga terusik namun bibir tetap mengheningkan diri. Seolah tak terjadi apa-apa, malam berjalan seperti biasa.
Meja kayu tua terlihat ramai dengan makanan. Hamparan benda sumber energi terlihat lezat di pandang mata. The zillion dollar lobster frittata memancarkan warna kuning cerah yang menggiurkan. Berteman luxury pizza dengan taburan lobster, crème fraiche dan enam kaviar berbeda yang mengguha selera. Tak kalah menarik dengan glamburger berteman wine penyejuk tenggorokan.
Aku mendabih beberapa hidangan arkian menyajikannya pada piring pria di hadapanku.
Ia mengukir senyum sembari mengucap terima kasih.
“Alasanku selalu merindukan malam tentu karena kepedulian yang kamu pancarkan ini, Clar! Lihat bagaimana aku seberuntung ini memiliki dirimu” ucapnya penuh kebahagiaan.
Aku turut mengukir senyum, meski terkadang palsu. Moment romantis seperti ini terkadang sulit kunikmati. Selalu terbayang bagaimana sikap dan perilaku Kevin setiap kali penyakitnya kambuh. Kevin menderita intermittent explosive disorder. Diriku yang dipaksa kuat oleh keadaan menjadi pelampiasan kemarahannya. Tak bisa terelak. Aku mengakui Kevin adalah pria sopan dan baik saat formula sehat menyelubunginya. Namun tatkala keresahan itu datang, mendadak dia menjadi monster ganas yang sulit dijinakkan.
Usia pernikahan baru berjalan satu bulan, namun Kevin telah menujunkkan sisi gelapnya. Dan selama itu pula aku menjadi bulan-bulanan dari sisi aneh dalam dirinya.
Aku memasukkan makanan ke dalam sistem pencernaan secara perlahan. Tak ada perubahan, rasa the zilliom dollar lobster tetap mengena di hati.
Kevin menghentikan aktivitas sejurus tatapan mata yang menilik diriku. Dahinya berkerut, pertanda hal besar terperanjat di dalam benaknya.
“Mengapa senyum di wajahmu mendadak hilang, Clar? Bukankah makanan itu tampak lezat?”
Aku mengangguk. ”Ini caraku menikmati makanan, Vin. Apakah terlihat aneh?”
Kevin terperanjat, sedikit takut telah menyinggung perasaanku.
“Bukan seperti itu alasannya. Hanya mendasari aturan para pendahulu. Mereka bilang harus mengukir senyum kala kita menikmati sebuah hidanngan.”
Aku hanya melontarkan senyum, malas melanjutkan percakapan.
“Matamu bermaksud aneh, Clar! Ada sesuatu yang tidak diketahui oleh diriku tentangmu.”
Aku menghentikan proses merasa arkian menggerakkan pandangan sejurus dengan posisi Kevin.
“Bukankah itu hal wajar? Ingat bahwa usia pernikahan kita baru menginjak usia satu bulan, Vin. Tidak mudah mendasari segala hal yang dipaksakan. Biarkan mengalir bak air”
Kevin melontarkan tatapan aneh. “Mengapa kamu jadi berani membantah gitu? Bukan,-“
‘Aku tidak menyuratkan maksud perbedaan pendapat dalam kalimatku. Itu hanya jawaban gila dari pertanyaan anehmu”
“Kenapa kamu jadi sensitive gini, Clar?’’
Aku menghela nafas Panjang. Berdebat dengan Kevin hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh.
“Maaf,”ucapku pelan.
Suasana Kembali hening, tak ada percakapan yang berlanjut lagi.
Waktu terus berputar. Melahap tiap peristiwa yang ditubruknya. Waktu makan telah usai, aku bergegas membereskan meja arkian membersihkan segala perlengkapan dari gulma.
Aku melangkahkan kaki menuju lantai paling atas di rumah ini. Menelusuri tiap anak tangga yang menghantarkanku pada sebuah kamar mirip secret room.
Ukuran ruangan berlantai putih itu tidak terlalu besar. Pada salah satu sisi terpajang jendela kokoh yang menawarkan pemandangan perkotaan yang kering. Efek kemarau bulan September. Dari kejauhan tampak samar-samar gempulan asap dari tabrakan ban mobil dengan aspal. Pada sisi lain terhidang gambar-gambar lucu yang tertempel indah. Tampak koheren dengan dinding cokelat muda sebagai penutupnya.
Laci meja terbuka dengan bebas. Aku menggondol pena berikut daluang kecil untuk sesuatu yang besar. Kutarik kursi biru mendekati jendela, arkian mendudukkan tubuh dengan manis di atasnya.
Nafas perlahan tertarik, sembari menikmati karunia sang empunya diriku. Sejurus kemudian tanganku mulai menari, menggerakkan pena dengan lincah di atas daluang. Satu persatu kalimat tertulis dengan elok, mendeksripsikan perasaan satu hari ini yang terekam di memori. Hingga kesabaran itu lenyap termakan angin, air mata menetes membasahi pipi.
Aku menahan rintih kepedihan ini. Bak rudal yang menggetarkan jiwa, aku takut Kevin bersikap yang sama. Otak tak mampu berimajinasi tentang luapan amarah Kevin menatap diriku yang menangis. Apakah dia akan bertindak kasar? Atau bersikap normal layaknya suami dengan wajah rupawan. Entahlah, bulan September benar-benar mengecewakan. Tak kalah panas dengan kemarau bulan September.
Serau kesabaran tak menggeletakkan nikmat,
Kendati beribu orang berprinsip demikian.
Lara tak menyuratkan punca,
Bahkan punuk tak terlihat menggunung di punggung.
Tingkap bagaimana pipi ini bekerja,
Setegar baja, sekokoh bangunan Jepang.
Lirik keanggunan netra ini menangkap ramalan,
Secepat pendar dan mendetail bak program komputer.
Lagu berdendang indah,
Menghantarkan pikiran ke dalam dunia pemaksaan.
Hingga hati berbisik
Kemarau Bulan September ternyata sekejam itu.
***TAMAT***
WARNING!
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar