(CERPEN) Anak Selokan

Contoh cerpen anak

Hiruk pikuk kota mendasari segala pusparagam bahana. Klakson kendaraan roda empat usai lampu hijau menyala seakan kasak-kusuk secara keseluruhan. Berteman pekikan supir, bulat sudah latar suara di atmosfer ibukota.

Ramai-ramai anak kecil bergulat tak tentu arah. Dengan limitasi kulit gosong, mereka menebas keramaian daerah tempat pemusatan penduduk itu. Tak beralas kaki, seolah panas sang surya yang diserap aspal tak terindra oleh mereka. Rambut mereka lusuh dan kering, efek terpaan panas yang membubung di atmosfer. Keringat bercucuran membasahi pipi kusam, benar-benar memanifestasikan kemelaratan.

Anak-anak itu berfokus pada kegiatan mereka masing-masing. Si rambut keriting tak terurus menggenggam botol berisi batu sambil mengayunkan wadah untuk benda cair berleher sempit itu sonder tempo yang harmonis. Mulutnya bernyanyi bising, mendendangkan lagu anak-anak pada orang dewasa di hadapannya. Sepihaknya juga terlihat bocah kurus berambut lurus. Sepertinya dia teman si keriting. Tangannya menggapai sebuah box, tempat sumbangan orang-orang yang tergerak hatinya. Tatapan kedua netranya sendu, bak tak punya kehidupan.

Hentakan botol berakhir, lagu pun berparak. Sejurus dengan hal itu, dengan sigap si rambut lurus menjajakan box pada orang-orang di depannya. Dewi fortuna memihak kepada mereka. Satu per satu orang dewasa mengeluarkan uang arkian menaruh pada box kusut berwarna merah.

Pemandangan berbeda terpantau pada dua bocah lain yang tampak asyik di area parkir. Satu kurus tinggi dengan jumlah tangan yang tak lengkap lagi. Tangan kirinya buntung, namun ia tetap sigap mengontrol kendaraan di parkiran gedung berlanatai seratus. Temannya mengenakan kaus oblong dengan sobekan dimana-mana. Badannya gemuk pendek dengan rambut gondrong yang menyuarakan bau tak mengenakkan. Ia juru parkir di gedung tetangga, tempat si buntung mencari sesuap nasi. 

“Lu udah dapat berapa, Tung?” teriak si gemuk dari kejauhan.

Si buntung melambaikan tangan, pertanda belum ada pemasukan. Cukup wajar. Ini adalah jam istirahat kantor. Para karyawan dan bos tidak ada yang berniat memencilkan parkiran. Pemandangan berbeda terjadi kala jam pulang kerja di sore hari tiba. Momen dimana si buntung panen uang.

Si gemuk berdeham. “Sini sarapan dulu, Tung?” teriaknya sekencang sangkakala.

“Gue gak ada duit, Cep,” jawabnya.

Si gemuk memasang wajah jengkel.” Lu anggap gue apaan, Tung? Hari ini Lu masih ngomong begituan. Sini cepat, lu mau gak?’

Si buntung tersungging kecil arkian menganggukkan kepala. Dia kemudian berjalan menghampiri si pendek, yang tengah berjalan gontai menuju warung makan kecil di pinggir jalan.

Pemandangan berparak tampak di tempat si keriting dan si lurus. Keduanya tengah asyik menghisap air kelapa muda dari sedotan putih secara bergantian. Dengan durasi lima detik, mulut harus berganti posisi.

“Satu, empat, tiga, lima”, ucap si keriting sambal menggeser kelapa dari kepala si rambut lurus. “Giliran gue, Sat.”

Dengan sigap mulut si keriting memborbardir isi kelapa muda yang mereka beli setelah mengamen di jalan. Ia tampak bergairah, seolah surga digenggaman tangannya.

“Satu, lima. Udah Ker,” balas Satria si rambut lurus. “Gila ya, lu ngabisin semua airnya.”

Satria menggoyang-goyangkan kelapa muda tak tentu arah. Hasil nihil, air kelapa sudah tak tersisa lagi.

Si keriting tertwa geli.

“Sekarang lanjut perhentian kedua, ke Terminal Rambutan”

Hari-hari mereka berjalan demikian. Merajut asa dalam untaian hiruk pikuk ibukota. Memaksa khendak untuk bergairah, meski pikiran menyangkal untuk berbalas.

Suasana terminal terpantau ramai siang ini. Ada ibu-ibu yang tengah asyik menggibah sambal menunggu bayangan bus dari ujung jalan terlihat, ada pula bapak-bapak yang termenung memikirkan variasi hal. Satria dan si keriting tentu menaruh cuek akan hal itu. Di dalam benak mereka hanya uang,  uang, dan uang untuk menyambung kehidupan.

“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu,-“

“Berisik. Dasar anak selokan!” teriak seorang pria sejurus memberhentikan dendang lagu dan bunyi botol yang Satria mainkan.

Keduanya terbujur kaku mendengar umpatan itu. Kaki gemetar, seolah-olah tersengat listrik yang luar biasa. Netra perlahan memerah, air mata tak mampu terbendung.

Satria menangis perlahan, diikuti si keriting yang mencoba menenangkan.

Namun dunia seolah menyudutkan mereka. Orang-orang ramai tertwa, sambal mengeksplor senyum sumringah kepada keduanya.

“Lu bocah harusnya sekolah, bukan nyanyi kagak jelas kayak yang Lu tadi lakuin. Itu namanya ngemis, yang namanya ngemis itu berarti hina. Secara transitive Lo hina,” seru seseorang.

“Lu juga bau. Percaya diri banget nyanyi sambal mulut lebar gitu”

Si keriting bergegas menarik Satria dari kerumunan. Menjauhkan telinganya dari guyonan orang-orang tak berperikemanusiaan.

“Udah Sat, Lu kagak usah nangis. Macam kagak pernah aja kata-kata kotor kayak tadi Lu dengar saat kita ngamen.”

Satria mengusap wajah tengan tangan. Mencoba melenyapkan tangisan kepedihan ke atmosfer. “Tapi baru kali ini gue dengar kita dibilang anak selokan. Atas dasar apa, Ker?”

Si keriting tertawa. “Yaelah, Lu gak usah dengerin kata-kata orang berduit. Lu harus berpikir positif kalau kata orang-orang kaya. Ini jam-jam orang berduit kelaparan. Bisa jadi mereka emosi efek dari perut yang keroncongan,” ucap si keriting menenangkan,

Sementara itu matahari kian meninggi, menambah panas suhu bumi. Membakar kulit anak selokan yang saat ini tengah asyik mengemis di jalanan.

 ***

Langit sore tampak indah dengan warna orange. Suasana sekitar tak panas lagi, matahari kian menurunkan posisi.

Satria dan si keriting telah kembali ke peraduannya. Setelah celaan di terminal, mereka tetap melanjutkan misi ngamen menelusuri hiruk pikuk perkotaan. Hingga sore tiba, mereka sudah sampai di rumah kardus miliknya.

Rumah kardus itu berukuran sedang. Satu per satu kardus diikat arkian diposisikan miring bersandar ke kaki jembatan. Tidak ada penerang, mereka hidup dalam kegelapan di malam hari. Tidak ada bantal sebagai alas kepala, mereka tidur berdempetan satu sama lain.

Tiga orang bocah tampak asyik bercengkerama sejak tadi-Satria, si keriting, dan si gemuk.

“Walaupun tidak dibenarkan, kita boleh apa?” ucap si  gemuk.

Si keriting mengelus punggung Satria secara perlahan-lahan. “Jangan masukin ke hati, Sat. Macam gak tahu tingkah laku orang berduit aja.”

Si gemuk melibas tangan si keriting. “Itu punggung gue, oi!” ucapnya yang membuat atmosfer bahak muncrat keluar.

“Gue kagak tahu, kondisi gelap begini,” balasnya sambal tertawa terpingkal-pimgkal. “Pantas ada tonjolan-tonjolan gitu.”

Satria Kembali mengukir senyum. Semangat untuk berjuang kembali ke dalam genggamannya. Bagaimanapun, manusia adalah manusia. Insan tak sempurna dan selau punya celah. Benar kata si keriting, celaan orang kaya  tak perlu di bawah ke hati. Cukup dibalas senyum dan doa yang baik.

Sementara itu, si buntung masih asyik mengomando kendaraan yang hendak beranjak dari parkiran. Cukup banyak karena sekarang adalah jam pulang kantor.

“Wah, duit lagi ini.” Ucap si bocah selokan nomor empat.

*TAMAT*





WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.

TTD

Van Raja



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konstruksi Sistem: Pengertian, Tujuan, dan Langkah-Langkah

(CERPEN) Senja di Angkringan

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *