Awan Mendung

Contoh cerpen romansa adalah Awan Mendung

Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh yang menggetarkan hati. Langit yang biasanya cerah, hari ini kelam dan dihiasi guratan-guratan hitam pekat. Udara terasa berat, seolah-olah menahan keinginan untuk menghirupnya. Amarah terasa mencekam, juga menjalar ke seluruh penjuru, seolah menjadi bagian dari tiap detik kehidupan yang tersisa. 

Betapa sulitnya mencari kesenangan di antara tawa canda, ketika kehidupan di sini dipenuhi dengan kegelapan yang menyelimuti. Namun, di balik segala hal yang menyedihkan, terdapat satu harapan kecil yang berkelip-kelip seperti bintang di tengah malam. Siapa yang dapat menangkapnya dan memanfaatkannya, dia yang akan memimpin di dalam kegelapan yang mencekam ini.

Suasana di kota kian suram saat awan mendung menutupi langit. Suara gemuruh petir menggema di kejauhan, membuat orang-orang merasa cemas dan terus menengok ke atas. Angin kencang menerbangkan sampah-sampah dan dedaunan kering di jalanan yang kosong, menambah kesan sunyi dan menakutkan. Beberapa orang yang terburu-buru bergegas masuk ke dalam gedung untuk berlindung dari kemungkinan hujan deras. Sementara itu, orang lain tetap bertahan di luar, menikmati suasana yang menegangkan dengan perasaan campur aduk antara kagum dan takut. Dan di tengah-tengah semua itu, awan mendung yang semakin menghitam menjanjikan hujan lebat yang akan mengubah suasana kota yang panas dan kering menjadi segar dan basah.

Pada salah satu pemberhentian bus yang masih ramai, seorang pria tampak gelisah dan cemas. Wajahnya tampak pucat, tangan gemetar dan keringat mengucur deras di dahinya. Dia terlihat tidak tenang, mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memeriksa waktu berkali-kali. Tatapan matanya kosong, terfokus pada suatu hal yang tidak diketahui orang di sekitarnya.

Pria itu tampak seperti sedang menunggu sesuatu yang sangat penting dan tidak sabar untuk mengetahuinya. Kepalanya terus berputar, mencari-cari tanda-tanda yang mungkin mengindikasikan kedatangan sesuatu yang ia tunggu. Para penumpang yang melintas di sekitarnya nampak terganggu dengan kegelisahan pria itu, namun tiada seorang pun yang berani menanyakan apa yang sedang terjadi. 

Sepersekian detik kemudian, sebuah bus akhirnya berhenti di depan halte setelah melambat dan memberi isyarat dengan lampu seinnya. Pintu bus terbuka lebar-lebar, pria itu dan penumpang yang menunggu di halte langsung bersiap-siap untuk naik ke dalam. Ada beberapa orang yang keluar dari bus, mungkin karena sudah sampai pada tujuan mereka atau hanya ingin pindah ke bus lain. Beberapa penumpang lainnya tetap duduk di kursi mereka, mungkin masih perlu beberapa perhentian lagi sebelum sampai ke tujuan akhir. 

Suara mesin bus yang bergelegar seketika menjadi lebih redup setelah pintu ditutup Kembali. Bus melaju kembali ke jalan raya. Para penumpang yang baru saja naik ke dalam bus terlihat sibuk mencari tempat duduk yang nyaman sambil mengatur barang bawaan mereka. Seiring berjalannya waktu, suasana dalam bus pun kembali tenang dan hanya terdengar suara mesin yang berdenyut pelan dan sesekali suara penumpang yang berbicara satu sama lain.

Pria itu mengarahkan pandangannya pada isi kota yang menghitam. Tatapan netranya tetap kosong, sementara jarinya terus-terusan menggerutu di atas tasnya yang terletak di pangkuan. Setiap kali bus melaju melewati tikungan, tubuhnya gemetar. Ia terlihat menarik napas dalam-dalam, seolah sedang berusaha menenangkan diri sendiri.

Hingga sepersekian detik kemudian, bunyi ponsel pertanda panggilan masuk terdengar di udara. Pria itu bergegas meraih tas arkian mengeluarkan ponsel. Itu panggilan masuk dari Mendung, tunangannya. Tanpa ragu ia segera mengangkat arkian mulai berbicara.

“Apakah kamu baik-baik saja, Mendung? Maafkan aku karena sempat mengabaikan panggilanmu, aku minta maaf,” ucapnya penuh penyesalan sampai-sampai air mata membasahi wajahnya.

“Aku Ibunya, Awan. Aku bukan mendung,” balas seseorang dari dalam ponsel.

Awan terbelalak kaget. Matanya membulat, bibirnya terbuka lebar, dan nafasnya tersengal-sengal. Sejenak ia terdiam, seolah-olah sedang mencerna makna dari kata-kata yang baru saja didengarnya. Kemudian, ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung dan tak percaya.

“Mengapa kamu tiba-tiba terdiam, Awan?”

Awan meneguk ludah. “Aku bisa menjelaskan semuanya, Bu. Namun, mohon jangan memandang buruk terhadap diriku terlebih dahulu,” balas Awan cemas.

Sepersekon kemudian, seorang penumpang yang duduk di dekat Awan mulai memarahinya dengan suara tinggi. Suara pembicaraan Awan dengan calon mertuanya benar-benar memunculkan kekesalan di dalam bus.

“Maaf,” ucapnya sambil berlalu menutup ponsel.

Sementara itu, langit kian suram. Cahaya matahari yang biasanya terang benderang, kini redup dan terlihat seperti bola api yang menyala di balik awan. Angin yang bertiup pun terasa dingin dan sejuk, seakan memberi tanda bahwa hujan akan segera turun. Semua itu membuat suasana menjadi lebih sepi dan tenang, dengan suara-suara gemuruh petir yang kadang terdengar di kejauhan.

Awan kembali mengingat kejadian tiga bulan lalu, yang menjadi awal kehancuran dia dan tunangannya. Setelah menghabiskan waktu penuh tawa di pantai, keduanya Kembali ke hotel untuk beristirahat. Namun dewi fortuna tidak berpihak kepada Awan. Nafsu yang terkekang dalam batin akhrinya lepas dari sarang.

Awan benar-benar menyesal, karena beberapa minggu waktu berjalan, Mendung dinyatakan hamil. Awan merasakan tekanan yang sangat besar di dada, juga atmosfer ketakutan akan rekasi dari keluarga Mendung. Pikirannya kacau dan ia merasa seperti berada dalam sebuah labirin tanpa jalan keluar. Hingga sebuah solusi muncul ke permukaan, keduanya sepakat untuk merahasiakan skandal besar ini. Namun bau busuk akhirnya tercium. Dua hari yang lalu Mendung harus dilarikan ke rumah sakit, dia terkena hyperemesis gravidarum. Sepertinya rahasia ini akan terungkap.

Sementara itu, bus terus bergerak membelah jalanan kota. . Mesinnya berderak dan suara klaksonnya terdengar nyaring di tengah kebisingan lalu lintas.

***

Perputaran waktu terasa begitu cepat. Awan yang sedari diliputi rasa cemas akhirnya tiba di rumah sakit. Atmosfer tempat merawat orang sakit itu terasa sedikit dingin dan klinis. Suara gemuruh mesin-mesin medis dan bisik-bisik para perawat mengisi ruangan. Bau antiseptik yang khas menyeruak di udara, memberi kesan steril dan berkesan profesional. Orang-orang yang berada di sana nampak tegang dan cemas, tapi juga terlihat pasrah dan sabar menghadapi situasi yang sulit. Di ruang tunggu, beberapa orang duduk dengan mata terpejam, sementara yang lain sibuk mengisi formulir dan berkonsultasi dengan petugas administrasi. Meski suasana itu menegangkan, ada juga kerja sama dan solidaritas yang terasa, sebagai tanda dukungan dan kekuatan bersama dalam menghadapi masa sulit.

Awan memasuki pintu masuk arkian berlari menuju meja penerimaan dan memberikan nama pasien yang dicarinya. Setelah diberitahu di mana ruangannya berada, pria itu dengan tergesa-gesa melangkah menuju lift dan menekan tombol untuk naik ke lantai yang dituju. Hatinya berdebar kencang, mencoba untuk menenangkan diri dengan berbicara pada dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja. Pintu lift terbuka, Awan bergegas keluar. Detak jantungnya semakin cepat. Deru nafasnya kian sesak. 

Awan terbelalak kaget melihat kedua calon mertuanya menangis keras di sisi kanan dan kiri Mendung. Suara tangisannya menggema di seantero ruangan, mencerminkan perasaan sedih yang mendalam di hati. Kedua orang tua Mendung memeluk anaknya yang sudah tak bernyawa, seperti enggan melepaskan kehadirannya. Seluruh perhatian mereka diberikan pada anak mereka yang sudah meninggal, memperhatikan setiap detail di wajahnya dengan rasa sayang yang tak berkesudahan. Mereka merasa bahwa tak ada yang bisa menggantikan kehilangan mereka, dan tangis mereka masih terus berderai hingga waktu yang tak terhingga.

Awan memandang tubuh Mendung yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang masih terpasang di tubuh tunangannya itu. Mendung terlihat tenang, dengan matanya terpejam dan wajahnya yang pucat. Awan merasa sangat sedih dan khawatir. Air matanya sontak merembes membasahi wajah. Ia memegang tangan tunangannya dengan lembut, mencoba memberikan dukungan dan kenyamanan. Ya, meskipun Mendung tidak akan mendengar semuanya.

Awan tetap berbicara dengan tenang dan lembut di telinga Mendung, menghibur dan memberikan semangat untuk pulih secepat mungkin. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takut dan cemasnya, demi membuat tunangannya merasa lebih tenang dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Awan bertekad untuk selalu ada di samping tunangannya, memberikan dukungan dan perhatian yang dibutuhkan selama masa pemulihan. Awan juga yakin, Mendung mendengar dukungan hebatnya, meski dalam keadaan tak sadarkan diri.

“Apa yang kamu lakukan, Awan?” ucap Ayah Mendung penuh emosi.

“Aku ingin memberikan semangat pada tunanganku, Ayah,” balas Awan sambil menyeka air matanya yang sedari tadi merembes keluar.

“Mengapa baru sekarang? Mengapa tidak sejak kalian berdua bertunangan?” ucap Ayah mendung sambil menggoyangkan tubuh Awan. Pria tua itu menangis hebat, dia kehilangan putri tercintanya.

“Mendung sudah tidak bernyawa karena bayi haram yang kalian pelihara,” ucap Ibu Mendung tajam yang membuat Awan terbelalak kaget.

Awan memandang wajah Mendung lamat-lamat, teriakan histeris menemani kepedihan itu. Pria itu memeluk tubuh tunangannya yang dingin di rumah sakit, dengan air mata yang tak bisa ia tahan untuk merembes keluar. Tangisan pilunya pecah dalam pelukan tunangannya yang sudah tak bernyawa lagi. 

Awan merasa seperti dunia sedang runtuh di atas kepalanya, dan tak ada yang bisa menghiburnya selain pelukan hangat sang tunangan yang kini sudah tiada. Pria itu meraih tangan dingin tunangannya dan menciumnya, merasa bahwa ia masih bisa merasakan kehangatan cinta yang pernah mereka bagikan bersama. Ia berbicara dengan tunangannya, berbicara tentang kenangan indah mereka bersama, dan menceritakan betapa ia sangat merindukan kehadirannya. 

Awan merasa sangat sedih dan hancur, karena kehilangan orang yang sangat dicintainya. Ia tak ingin melepaskan pelukan itu, merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk merasa dekat dengan tunangannya yang kini sudah tiada. Lelaki itu masih menangis di pelukan sang tunangan yang kini sudah menjadi kenangan. Awan sadar kalau cintanya akan tetap abadi dan selalu terpatri di hati meski tunangannya telah pergi.

“Keluar kamu, cepat keluar!” bentak Ayah Mendung dengan tegas mengusir Awan. Ia merasa begitu terpukul dan kesal dengan perbuatan yang dilakukan calon menantunya. Dengan suara lantang dan kasar, ia menuntut Awan untuk pergi secepat mungkin, tanpa melihat ke belakang. Tatapan matanya yang tajam dan keras, membuat Awan merasa ketakutan.

“Aku ingin menghabiskan waktu yang sedikit ini untuk tetap Bersama Mendung, Ayah. Aku mohon,” ucap Awan arkian berlutut meminta izin.

Ayah Mendung tak menaruh iba. Dengan penuh kekuatan ia mengusir Awan dari ruangan itu. “Pergi, dasar pembunuh,” ucapnya tajam sambil menutup pintu.

***

Langit sore yang menghiasi kota belum menunjukkan perubahan, tetap tertutup awan mendung. Gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, kini tampak seperti menyerap semua cahaya di sekitarnya. Jalan-jalan yang biasanya ramai, kini terlihat sepi dan sunyi, dengan beberapa orang yang bergegas pulang setelah selesai bekerja. Beberapa kenderaan yang melintas terlihat tergesa-gesa, seolah-olah tak sabar untuk sampai ke tempat tujuan mereka. Suara klakson mobil dan suara gesekan ban mobil dengan aspal jalan, terdengar lebih bising di tengah kesunyian yang terasa di kota yang mendung ini. 

Pepohonan di sepanjang jalan yang biasanya hijau dan rimbun, kini terlihat layu dan berdaun jarang. Warna-warna yang biasanya cerah dan terang, kini tampak lebih suram dan kelam. Meskipun begitu, ada juga keindahan yang bisa ditemukan dalam pemandangan kota yang mendung ini. Lampu-lampu jalan yang mulai menyala, menambah suasana kota yang misterius dan romantis. Begitu juga dengan refleksi cahaya lampu-lampu kota yang tercermin di genangan air di tepi jalan, menambah kesan dramatis dari pemandangan kota yang sepi dan mendung ini.

Awan tengah berdiri pada rooftop rumah sakit dengan pandangan kosong yang tertuju pada langit yang gelap. Ia merasa hampa dan tak berdaya bak kehilangan kesempatan untuk mengubah keadaan. Setelah beberapa saat, ia mulai melangkah mendekati tepi gedung, dan tanpa ragu-ragu, ia melompat ke bawah. 

Suara desiran angin memenuhi telinganya saat Awan terjun ke bawah. Dalam sekejap, seluruh dunia terlihat seperti berputar di sekelilingnya. Tiada ketakutan dalam hatinya, hanya perasaan lega dan bebas yang melanda seluruh tubuh. Tubuh Awan terbentur di aspal keras, menyebabkan patah tulang dan luka yang serius. Awan tidak merasa sakit sama sekali. Segala penderitaan dan beban yang selama ini ia tanggung telah sirna. Ia merasa seperti bebas dari segala tekanan dan rasa cemas yang selama ini membebani hidupnya. Meskipun akhir hidupnya yang tragis dan menyedihkan, Awan merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan segala penderitaannya dan menemukan kedamaian bersama tunangannya di surga.

Sementara itu, langit akhirnya merelakan awan mendung yang sedari tadi menutupinya. Awan mendung telah lenyap, digantikan tetesan air yang jatuh dengan lembut menimpa bumi. Namun semakin lama hujan terus turun dengan lebatnya. Apakah ciptaan Tuhan itu paham dengan kondisi yang dialami Awan dan Mendung?

*TAMAT*


Baca Juga: Behind The Cupboard
Baca Juga:(CERPEN) Dia Bukan Ibuku

WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.

TTD

Van Raja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konstruksi Sistem: Pengertian, Tujuan, dan Langkah-Langkah

(CERPEN) Senja di Angkringan

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *