Gadis Pembawa Apel

Ketegangan pun meradang dalam hawa yang terbakar, menyulut nyala api dalam setiap serat kejengkelan. Inikah takdir yang telah diukir oleh penentu waktu, menghadirkan kesenyapan yang mematikan dan kesemrawutan yang memuntahkan kehancuran? Atau apakah ini hanya permainan rahasia yang dilancarkan oleh ilusi yang merajut malam, menari-nari dengan pesona kegelapan?

Contoh cerpen horror adalah Gadis Pembawa Apel


Dalam gelap malam yang kaku terbungkus, langit memerah melilit bulan pucat yang terhalang oleh awan naga. Cahaya kelam dari lampu jalan menyinari perjalanan tanpa tujuan, menggoreskan bayangan-bayangan ngeri di celah-celah kesunyian. Angin menghela dengan gemuruh melankolis, memperdayakan keberadaan yang nyaris tak tampak, dan merundukkan rambut pendekku dengan gemetar.

Sebuah istana kesepian terperosok dalam sunyi, mendekap semerbak masa lalu yang mengingkari waktu. Dindingnya yang retak dan lapuk, mengerikan dalam kebisuan yang meracuni suasana. Langkah-langkah getir memercikkan aneh dari serpihan-serpihan kekosongan, membingungkan takdir dengan irama mereka yang misterius.

Suara serak pintu kuno menggetarkan keheningan malam, merentangi ruang waktu dengan alunan suara aneh yang memburamkan denyut jantung. Ataukah itu hanya nyanyian angin di antara ruang-ruang tersembunyi, menyusuri lorong-langkah keabadian? Suara-suara yang ganjil melintas, bermain-main dengan jiwa yang rapuh, menghembuskan teriakan angan yang tak terjawab.

Dalam terik kedua netra, terbayang wajah-wajah yang pucat dan berkabut, memudar di balik tirai malam. Apakah mereka hantu-hantu yang melayang dalam kegelapan atau mahluk-mahluk tersesat yang terjebak di antara garis-garis realitas? Keberadaan mereka menari dengan tipu muslihat, menciptakan orkestra takdir yang memerihkan sensasi nyawa yang tercekik.

***

Aku melangkahkan kaki dalam hening malam, ketika langit melangit berlabuh dalam gelap rahasia. Aku berjalan secara perlahan, menghindari setiap batu dan akar yang mengendap di lorong kegelapan. Langkah kakiku terdiam melayang, seakan menari di antara bayangan-bayangan angker yang berlarian di sepanjang koridor kehampaan.

Bayangan aneh tergambar dalam benak, terjalin erat peluit keajaiban, artefak keberanian yang menari di jari-jari. Jejak rasa takut terserap dalam kedua netra, tetapi hati keberanian yang merdu merasuk dalam nadiku yang berdenyut. Pandanganku mendadak terpana, mengarah ke titik terang di depan. Sebuah gubuk yang mengejutkan berdiri sebagai puri ketakutan, menyimpan intrik yang terkubur dalam keheningan.

Angin bertiup dalam seraknya, menari dengan kisah-kisah mistis, mengaburkan dunia dengan kabut malam yang mengundang khayalan. Dendam-dendam setan tersembunyi di pojok-pojok gelap, merangkak membingkai hati kecilku. Namun, panggilan arus petualangan dan gelora ingin tahu yang mengilhami menuntun diriku untuk terus maju, melangkah dekat ke gubuk yang menjebak.

Dinding-dinding gubuk mengambang dari kegelapan dengan kilau yang memudar. Mereka berucap tentang usia yang merantai waktu dan menelan jiwa-jiwa yang menyusuri. Jendela-jendela yang pecah melolong dengan narasi cinta yang lupa, merambatkan nyanyian-nyanyian yang menusuk jantung dan merangkak di tulang-tulang. Namun, aku tetap bertahan.

Aku mengintip pintu dengan kasih, dan dalam suasana keheningan yang meluncur menyerang. Bayangan yang berdansa di atas lantai yang remang-remang, dan ketukan jari-jari angin yang mencubit merumitkan anggapan. Keajaiban bulan pucat merayap melalui jendela-jendela yang retak, melumuri debu yang terbang dan mengejutkan dengan sinar magis yang menari.

Dalam gubuk yang menderita oleh kehadiran tak terlihat, aku melintas dalam kehampaan yang gelap tetapi terikat dalam kebahagiaan penemuan. Aku merasakan denyut jantung yang berdebar dan napas yang terengah-engah. Di dalam kegelapan, aku berjalan melalui langkah-langkah yang membingungkan, menembus teka-teki yang bersembunyi di setiap sudut, dan membongkar misteri yang mengikuti imajinasi.

Segala rasa takut yang menggelisahkan dan keberanian yang tak terelakkan berbaur dalam adonan yang sama. Aku memantasakan diri arkian memasuki gubuk yang mengintip seolah sebagai penjelajah yang berani. Aku mengenakan tangan yang lembut ke dalam sentuhan masa lalu yang terbisu, menghidupkan cerita-cerita yang bersembunyi di dalam debu. Dan di tengah malam yang menyejukkan, aku menemukan potongan-potongan kisah yang telah terkubur dalam keheningan, mengisi dunia dengan pengalaman yang tak terlupakan.

Aku menghentikan Langkah KetikanNetra menangkap sebuah gaun perempuan tergantung di dinding. Gaun itu menyembul dari kelamnya malam, menyerupai bayangan yang terpecah-pecah dan mencuri nafas. Menggelepar seperti sayap kegelapan, mengalun dalam gemuruh rahasia yang tak terjamah, gaun itu mengajak jiwa-jiwa terpesona untuk melupakan nyanyian kehidupan.

Aku meneguk ludah. “Itu adalah gaun si gadis pembawa apel,” ucapku dalam hati tatkala mengingat seorang wanita yang bekerja sebagai buruh panen apel di kebun milik ayahku. “Apakah gubuk ini adalah miliknya?”

Tepat di atas lantai, sebuah keranjang using tampak mengasingkan diri. Aku berjalan perlahan arkian meraih keranjang itu. Sembari melihat sekitar yang dipenuhi kegelapan, aku membukanya dengan perlahan. Hingga sepersekian detik kemudian, sesuatu di dalamnya membuat jantung berdegung kencang.

“Sialan.” Aku berteriak keras sambil melempar keranjang tak tentu arah. Keranjang berisi kepala tengkorak manusia itu berserakan ke segala arah.

Detak jantung memantul di dinding gubuk yang kelam, mengikuti alunan nafas malam yang menghampiri. Keangkeran menciptakan orkestra takdir yang terbentuk dari seruan-suara langit yang merintih. Dalam remang yang memancar rahasia, aku merasakan getaran getir dalam lekukan tulang yang kaku, menyusupi nadi dan membangkitkan api yang nyala.

Terkunci dalam momen, aku terperangkap di antara waktu yang berkecamuk dan khayalan yang merajut. Keheningan melambung tinggi, membingkai rahasia yang menari di sekitarku. Apakah gubuk ini adalah penutup dari tragedi kehidupan yang dipagut malam? Ataukah keranjang itu mengantarkan pandangan ke dalam abyss yang tak terduga, mengangkat tabir dari kejanggalan yang ditinggalkan?

“Apa yang kamu lakukan di rumahku?” tanya seseorang secara tiba-tiba.

Aku terbelalak kaget mendengar suara itu. Aku mengalihkan pandangan, gadis pembawa apel sudah berada di hadapanku. Rambut perempuan itu tergerai Panjang, menutupi Sebagian wajahnya yang pucat seperti mayat. Matanya merah menyala dengan kegilaan yang menakutkan, sementara senyum mengerikan terbentang di bibirnya yang berwarna biru gelap.

Sungguh pemandangan yang berbeda dengan kesehariannya di kebun ayah. Dia adalah gadis canti bersuara indah, yang sering diundang untuk bersantap siang kala acara keluarga di rumah. Namun sekarang, keindahan itu telah tergantikan.

Perempuan itu melangkahkan kaki, mendekat ke arahku. Aku kian terpojok, tak terasa punggung telah menyentuh dinding gubuk.

“Aku hanya ingin menghantar selai apel buatan Ibuku,” balasku dengan penuh kegugupan. “Kamu sudah dua hari tidak masuk kerja, menghilang tanpa kabar. Ibuku berpesan untuk menghantar selai apel, agar kamu lekas sembuh.”

“Aku tidak sakit”

“Tapi ibuku berpikiran demikian”

Gadis pembawa apel itu perlahan-lahan mendekatiku dengan Langkah bergeming. Setiap langkah yang diambilnya menghasilkan suara langkah keras yang menusuk telinga, seperti langkah mayat hidup. Dia memandang diriku dengan tatapan tajam yang membuat bulu kuduk sontak merinding. Aku merasakan kehadiran jahat yang memenuhi ruangan gubuk seram ini. Aku juga tahu bahwa diriku berada di tengah-tengah bahaya yang nyata.

Tanpa menunggu perputaran waktu yang lebih lama, aku bergegas melarikan diri. Lari terbirit-birit meninggalkan gubuk tua ini. Namun, dalam gulita yang merangkum takdir, gadis pembawa apel itu juga berlari mengejarku. 

Saat hendak membuka pintu gubuk, gadis pembawa apel melempar keranjang usangnya tepat di kepalaku. Aku mendadak rubuh, tubuhku membentur lantai dengan keras. Samar-samar aku melihat gadis pembawa apel dengan keangkeran yang memukau. Gaunnya, jalinan putih kusam, merayap seperti nyawa mati di atas tubuhnya yang menampakkan kejernihan melalui keabu-abuan. Tangannya, cakar yang tak terjamah oleh waktu, terulur dengan semangat yang tak manusiawi. Wajahnya, kematian yang menyembah di balik kerak dan lumpur, memancarkan kemarahan yang tak tertahankan.

Dengan serangan cepat yang seakan menyelinap dari dimensi yang tak terpahami, gadis pembawa apel melompat ke arahku dengan gerakan yang tak terdefinisikan. Dingin menusuk tulang terasa ketika jari-jarinya yang kuno menyentuh permukaan kulitku. Terperangkap dalam dekapan kehampaan yang menggigil, aku berteriak ketakutan, namun suaraku mati terperangkap di dalam gubuk yang tertutup oleh ketidaknyamanan.

Dalam kepanikan yang melanda, aku berjuang, mempertaruhkan seluruh daya upayanya, tetapi hantu itu tak tergoyahkan. Dia mengejar dengan laju yang menyeramkan, hilang dalam kegelapan dan muncul kembali dalam bayangan-bayangan menakutkan, menghimpit tubuhku dalam keputusasaan yang tak terhindarkan.

Dalam kehampaan jiwa, aku berusaha menemukan stratagem untuk menundukkan gadis pembawa apel. Kesadaran merasukku bahwa ia menguasai gelap dan tersurat, dan aku bergerak cepat mengeluarkan korek api tersembunyi di dalam lipatan jaketku. Dalam seruan singkat, api menjulang dan menyala-nyala. Si jago merah berkobar pada kehidupan di pangkuan malam.

Cahaya yang membara itu menggugurkan kelam yang mengepung sekitar. Dengan mengokohkan genggaman, aku menatap mata hantu perempuan itu dengan api keberanian yang berkobar-kobar. Serangan-serangan yang tajam dan terarah, membanjiri ruang dengan gerakan yang cekatan dan tak terprediksi.

Perlawanan kami menggelora dan semakin menjadi, teror menyusupi setiap jengkal ruang di gubuk yang menjijikkan ini. Tubuhku penuh luka, arkian darah segar merembes keluar. Kekuatan kejahatan yang menjamur dalam diri gadis pembawa apel itu terasa mengendur, namun pertempuran kami tetap berlangsung.

Setelah perjuangan yang tak terhingga dan menyiksa, aku mengumpulkan seluruh keberanian jiwa untuk serangan pamungkas. Dalam tindakan yang amat perkasa dan tepat, aku meraih tengkorak kepala yang tak jauh dari posisiku, arkian menancapkannya tepat di jantung gadis itu. Sepersekon kemudian, terdengar teriakan nyaring yang menjalar dari dinding ke dinding gubuk, menguak luka yang tak berdarah. Itu suara si gadis pembawa apel.

Aku duduk tersungkur di permukaan tanah, terkikik dan terjaga oleh nyeri berdarah. Pandanganku menyusuri sekeliling, gubuk seram itu berubah menjadi suasana biasa-biasa saja. Dalam keheningan yang mencengkam, kesadarku tersadar bahwa aku telah menjungkirbalikkan kekuatan kejahatan yang merayap di balik tembok gubuk ini.

Dengan relung hati yang memompa, aku melangkah keluar dari gubuk itu, mempertaruhkan diri di hadapan angin malam yang terus berhembus dingin, sambil mendayung kaki menuju fajar yang berusaha merekah di ujung cakrawala. Aku meninggalkan belenggu kecemasan dan derita yang memenuhi ruang, saksi kesatria yang tak tergoyahkan, menghadapi teror menakutkan yang merasuk dalam gubuk seram di malam gelap.

Keesokan paginya, aku terjaga dari tidur. Aku bisa merasakan kesakitan pada tiap inchi tulang di tubuhku. Aku membuka gorden kamar, menatap jauh sinar pagi yang menyinari kebun apel luas milik ayah. 

“Indah sekali,” ucapku sambil menghirup nafas segar. 

Hingga sepersekian detik kemudian, atmosfer ketenangan mendadak hilang saat netraku berhasil menangkap gadis pembawa apel tengah berbincang ria Bersama ayah dan ibu di kebun apel. Gadis pembawa apel itu melempar senyum ke arahku. Tentu bukan senyum kehangatan, melainkan dendam amarah. Aku melotot tajam ketika gadis pembawa apel itu menegeluarkan dua buah apel dari keranjang using arkian memberinya pada ayah dan ibu.

Dengan sigap aku berlari ke arah mereka, sambil berteriak penuh amarah. Namun pintu kamarku terkunci, begitu juga dengan jendela kamar. Aku berjuang sekuat tenaga untuk merobohkannya, tetapi upayaku sia-sia belaka. Aku menuju jendela kamar. Sial, kedua orangtuaku sudah terbaring kaku di tanah. Sementara itu, si gadis pembawa apel tengah berjalan gontai ke arahku dengan penampilan hantu seperti di gubuk kemarin malam.

Dalam keadaan yang semakin tegang, aku merasa adrenalin memenuhi tubuhku. Hatiku berdegup kencang, menghadapi keberadaan yang tak dapat diterima oleh logika. Aku harus mencari jalan keluar, pikirku dengan cepat. Namun, semua usahaku untuk menghindari kehadiran mengerikan itu terasa terhambat oleh kekuatan yang tak terlihat. Aku harus bertarung, tidak peduli seberapa kuat musuhku.

Dengan mata yang melotot dan hati yang berapi-api, aku memusatkan keberanian terakhirku. Aku melawan rasa takut yang melanda, menghadapi gadis pembawa apel itu dengan tekad yang membara.

*-TAMAT-*


Baca juga: Amerta

Baca juga: Senja Bersama Ibu


WARNING!

Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.

TTD

Van Raja


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selumbari untuk Lusa

Anak F

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *