Senja Bersama Ibu

Contoh cerpen romansa adalah


Ufuk timur yang masih tersegel selimut gelap malam perlahan lenyap. Sinar emas sang surya pelan-pelan menyusup dengan gontai. Seberkas Cahaya bergantian merayap, sembari menari indah di antara jendela-jendela kota yang terjaga. Atmosfer kehangatan mengusir dingin, menyalurkan semangat baru bagi alam semesta yang baru terjaga dari tidur. Tiap serbuk berkas yang menyapu bumi, tersaji keindahan tiada tara, mengisi hati setiap insan dengan keajaiban.

Sang fajar membawa cerita indah yang tersurat dalam sinar kemerahannya. Pusat tata surya itu mengecat langit dengan pelet warna-warna yang memukau. Lihat saja warna oranye hangat dan merah kembut yang menyatu dalam harmoni sempurna. Ketika cahayanya menerobos celah-celah pepohonan, bayangan hitam akan muncul menampilkan tarian magis di permukaan tanah. Alam benar-benar jadi panggung megah, dengan matahari sebagai sutradara.

Burung-burung bersenandung merdu di balik dedaunan pohon trembesi. Hewan bersayap itu turut menyemarakkan pagi yang diselimuti atmosfer ketenangan. Semua berbaur menciptakan harmoni tiada nilai. Dalam keheningan fajar, langit masih memeluk gelapnya malam yang baru berlalu. Bangunan-bangunan tua di perkotaan berderit, menceritakan cerita hidup yang tak pernah terucap. Suasana pagi mencoba menemukan cahaya di antara reruntuhan kehidupan yang terabaikan.

Kerusakan jalanan dan dinding-dinding yang tertutup grafitti menjadi latar belakang pagi yang suram. Sampah-sampah berserakan, menggambarkan kealpaan insan sekitar. Antrian panjang kendaraan dan keramaian manusia menambah kegaduhan di jalanan. Bau asap dan kebisingan kendaraan yang melintas menjadi lagu latar bagi kehidupan yang padat. 

Angin pagi yang berhembus dengan pelan membawa aroma campuran antara bau sampah dan tanah basah. Di antara bangunan-bangunan reyot yang tersusun berjajar, sinar matahari menerobos celah-celah, mencoba menerangi jalan setapak yang dipenuhi genangan air dan lumpur. Warna-warni kain yang dijajar rapi di tepi jalan, berpadu dengan aroma harum kopi yang menyeruak dari warung-warung sederhana.

Di jalanan sempit, terdengar langkah kaki yang berdesak-desakan. Pekerja-pengumpul sampah menyusuri lorong-lorong gelap dengan ember dan sekop di tangan. Dalam keterbatasan ruang dan waktu, mereka melibas setiap sudut dengan tekad yang tidak kenal lelah. Sementara itu, para pedagang kaki lima membuka lapak mereka dengan berbagai dagangan. Teriakan penjual dan suara kendaraan bermotor menjadi orkestra yang khas, membangunkan kawasan kumuh ini dari tidurnya.

Pada barisan pedagang kaki lima, terlihat seorang anak kecil tengah asyik mengatur barang dagangan pada meja kecil buatan tangannya. Bubur hangat yang wangi dan kopi hitam yang menguar aromanya, menjadi saksi bisu perjuangannya. Meski ditatap matahari yang baru terbit, anak kecil itu tetap semangat berjualan.. Ia tidak hanya menjual makanan, tetapi juga menjual harapan dan ketulusan hati yang terpancar melalui senyumnya. Nama anak kecil itu Eran. 

Seluruh dagangan Eran telah terpapampang di tepi trotoar. Dia berjalan kecil ke segala arah, mempromosikan jualannya. Ia berteriak kencang ke segala arah, berharap ada orang yang mau singgah untuk membeli dagangannya.

Waktu terus berputar, melahap setiap peristiwa. Eran menatap dagangan yang ditata rapi namun tak kunjung ada pembeli. Jari kecilnya mengepalkan erat, mencerminkan gelisah yang merayap di dalam hati. Setiap langkah yang dilewati pelanggan tanpa menghampiri mejanya menambah beban kekhawatiran. Sesaat, Eran terdiam, melihat tetesan keringat yang jatuh ke tanah, seakan menjadi perwujudan dari penantian yang tak berujung.

Matahari semakin tinggi di langit, berikut kekhawatiran Eran yang kian menggelayut erat. Anak kecil itu berusaha menjaga senyum kecil di bibirnya, meski dalam hati ada getaran kecil kekecewaan. Ia telah menghabiskan waktu dan tenaga untuk menyiapkan dagangan yang ditawarkannya dengan harapan agar bisa membantu Ibunya yang seorang pemulung.

Eran melirik ke kanan, tempat seorang pedagang yang juga menjual bubur ayam dan kopi hitam. Namanya Pak Sorpi, pesaing Eran dalam berdagang bubur ayam. Eran terbelalak kaget menyaksikan Pak Sorpi yang telah menutup dagangannya, padahal jam masih menunjukkan pukul sepuluh. Namun di lain hati, Eran merasa senang karena pesaing dagangannya tidak ada sampai nanti malam.

“Bukannya baru empat jam berdagang, Pak? Mengapa langsung tutup?” Tanya Eran penasaran.

Pak Sorpi mengukir senyum. “Ada keperluan mendadak, Ran. Bapak duluan, ya!” sahut Pak Sorpi arkian mendorong gerobaknya.

Eran menganggukkan kepala, sembari melambaikab tangan.

***

Sang surya memancarkan sinar dengan kekuatan penuh. Tiap berkasnya tampak menari Anggun di atas bangunan tinggi, menembus jendela perkantoran. Orang-orang yang melintas di jalanan mengambil Langkah tergesa-gesa, mencari perlindungan dari suhu yang meningkat.

Eran meneduhi diri dengan kardus cokelat. Ia meneguk ludah, sembari melihat dagangannya yang masih rapi sejak tadi pagi. Raut wajahnya mulai cemas, perlahan takut saat dagangannya tidak ada yang laku. Hingga atmosfer ketakutan memuncak, kala netranya menyaksikan kehadiran orang-orang berseragan cokelat dari kejauhan.

Kedua tangannya gemetar saat ia melihat satu per satu mobil Satpol PP memasuki area trotoar. Wajah Eran mendadak pucat, dan sorot netranya penuh kekhawatiran. Dia tergopoh-gopoh menoleh ke sekeliling, menyaksikan para pedagang yang buru-buru mengamankan jualannya.

Tanpa menungguk waktu yang lana, Eran bergegass Menyusun Kembali barang dagangannya. Mata cokelatnya berbinar penuh semangat sambil sesekali melihat kea rah Satpol PP yang semakin mendekat. Namun teriakan keras membuat Eran terdiam kaku.

“Berhenti,” ucap seorang Satpol PP yang seketika membuat Eran terbujur kaku.

Eran meneguk ludah. Sembari melapalkan doa-doa kepada sang empunya dirinya, ia bergegeas melarikan diri.

Eran berlari penuh ketakutan setelah meninggalkan dagangannya. Wajahnya penuh air mata, hasil bauran variasi perasaan yang berkecamuk di dalam pikiran. Langkah kakinya yang kecil dan tergopoh-gopoh mencerminkan ketakutan yang mendalam. Di belakangnya, dengan sikap tegas dan langkah mantap, beberapa anggota Satpol PP mengejarnya dengan wajah penuh amarah.

Suaranya yang kecil terdengar terputus-putus, mencoba memanggil ibunya dengan penuh harap. Namun, derap langkah petugas yang semakin mendekat membuatnya semakin panik.. Tangisan tak terbendung memenuhi udara, mencerminkan keputusasaan dan ketakutan yang tak mampu diungkapkan oleh kata-kata.

Dunia sepertinya tidak berpihak pada Eran untuk saat ini. Kakinya tersandung batu besar yang merobohkan tubuhnya ke tanah dengan sangat keras. Teriakan kecil terlontar dari bibirnya saat badannya menyentuh tanah. Wajahnya semakin takut, setelah sadar rombongan petugas semakin dekat ke arahnya. 

Eran mencoba bangkit dengan berusaha mengusap luka di lututnya yang tergores akibat jatuh tadi. Ia menoleh ke seluruh arah, sebuah parit menarik perhatiannya. Eran mengayun Langkah tanpa kenal Lelah, arkian meloncat ke dalam parit.

Eran terus berlari sejauh yang ia mampu, dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh ketakutan yang turut menemani. Melalui parit-parit yang berliku dan jalanan sempit, ia menembus jalan-jalan kecil yang penuh dengan orang-orang yang sibuk. Tampaknya Eran tak ingin menyerah begitu saja kepada petugas yang berusaha menangkapnya

Di bawah terik matahari siang yang memancarkan panas menyengat, Eran memilih untuk menyembunyikan diri di dalam tong sampah. Dalam gambaran yang penuh ironi, ia berusaha menghindari pandangan para petugas yang melintas dengan harapan tidak ditemukan. Wajah yang penuh ketakutan dan pakaian yang kumal, merasa terjebak dalam dunia yang tak adil. Sesekali, dia merasakan aroma busuk yang tak tertahankan, namun ia tetap bertahan, berusaha bertahan hidup di balik dinding yang terbuat dari limbah.

Eran menahan tangis sejadi-jadinya. Namun usaha itu gagal. Sorot matanya dipenuhi kesedihan, hingga air mata mengalir tak terbendung lagi. Pada sela-sela kesendirian dalam tong sampah yang menjijikkan, ia membayangkan nasibnya yang tak kunjung membaik. Pikirannya terbang jauh, membawa ia pada gambaran yang memilukan tentang gerobak dagangan dan ibunya yang bekerja keras setiap hari untuk mencukupi kehidupan mereka berdua.

Bayangan ibunya yang letih dan terkuras tenaga selepas memulung sampah menjadi sangat jelas dalam imajinasi anak kecil itu. Eran bisa merasakan kelelahan yang membebani tubuh ibunya, yang tak pernah mengenal kata istirahat. Setiap langkah ibunya penuhusaha dan harapan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi dirinya. Air mata Eran semakin mengalir deras, seolah menjadi pelampiasan atas rasa sedih dan putus asa yang merayap di dalam hatinya.

Waktu terus berjalan, dan sore hari telah tiba. Suasana langit mendung tampak menggantung di atas kota, seolah memberi isyarat bahwa sore ini akan hujan. Benar saja. tetes-tetes air mulai turun seperti tarian tak beraturan mengisi udara. Gedung-gedung menjulang tinggi, memantulkan kilauan lampu jalan yang berpadu dengan embun di jendela-jendela. Kota yang biasanya begitu sibuk, kini perlahan sepi dan tenang saat orang-orang mencari perlindungan dari rintik hujan yang semakin deras. Suasana yang teduh dan damai membawa kesan kesendirian yang lembut, seakan-akan menyapa jiwa yang hiruk-pikuk dengan kedamaian yang dirindukan.

Eran terjaga dari tidur, saat tetesan hujan mengenai kepalanya. Dengan sedikit kecemasan ia menggulingkan tempat sampah, memudahkan dirinya untuk keluar. Eran berjalan pelan, luka di kaki membuat tubuhnya kehilangan banyak darah. Namun tubuhnya benar-benar lemah, hingga akhirnya kembali rubuh membentur tanah.

Bersambung..



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konstruksi Sistem: Pengertian, Tujuan, dan Langkah-Langkah

(CERPEN) Senja di Angkringan

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *