Mengintip 5 Gaya Hidup Unik di Berbagai Belahan Dunia, Ada Makan Sambil Berjalan

Setiap sudut dunia menjadi saksi dari kekayaan budaya dan tradisi yang membuatnya unik. Gaya hidup masyarakat di berbagai negara mencerminkan keberagaman ini, memberikan pandangan menarik tentang bagaimana orang-orang menjalani kehidupan sehari-hari mereka di tengah keanekaragaman global. Mari kita menjelajahi beberapa fakta menarik tentang gaya hidup di beberapa belahan dunia yang tidak hanya dapat menginspirasi, tetapi juga membuat kita terkejut.

1. Di Jepang, orang-orang sering makan sambil berjalan

Kebiasaan unik orang Jepang

Di Jepang, aspek waktu bukan hanya sebuah dimensi, melainkan suatu komoditas berharga yang mencerminkan gaya hidup sehari-hari masyarakatnya. Budaya Jepang yang dikenal dengan istilah "isogashii" atau sibuk seringkali menciptakan kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai aktivitas dengan efisien. Dalam konteks ini, makan sambil berjalan, atau yang dikenal sebagai "tabe hiro," telah menjadi suatu kebiasaan yang umum di kalangan penduduk Jepang.

Fenomena "tabe hiro" mencerminkan kesibukan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Jepang. Waktu makan tidak hanya dilihat sebagai momen untuk menyantap makanan, tetapi juga sebagai peluang untuk mengoptimalkan setiap detik yang dimiliki. Kesibukan di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka sering kali membuat orang-orang terburu-buru, dan makanan jalan yang praktis menjadi solusi yang nyaman dalam menjawab tuntutan waktu yang ketat.

Makan sambil berjalan juga memperlihatkan adaptasi kreatif terhadap keterbatasan waktu. Di kota-kota padat penduduk, restoran cepat saji dan penjual makanan jalanan menjamur untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang ingin menikmati hidangan cepat tanpa harus duduk di tempat. Makanan yang mudah dimakan, seperti onigiri (nasi berlapis rumput laut dengan isian), yakitori (ayam panggang), atau takoyaki (bolongan gurita), menjadi pilihan populer yang memungkinkan orang Jepang untuk tetap aktif sambil menikmati hidangan lezat.

Namun, "tabe hiro" bukan hanya sekadar tentang kecepatan dalam mengonsumsi makanan. Praktik ini juga mencerminkan nilai-nilai sosial dalam budaya Jepang. Aktivitas bersama seperti makan bersama di tempat kerja atau acara sosial sering kali dilakukan tanpa mengorbankan efisiensi waktu. Makanan jalanan menjadi jembatan yang menghubungkan orang-orang dalam momen-momen singkat namun berharga di tengah kesibukan mereka.

Selain itu, makan sambil berjalan mencerminkan keberagaman kuliner di Jepang. Dari ramen hingga katsu-sando, setiap daerah memiliki spesialisasi makanan jalanan mereka sendiri. Hal ini menciptakan pengalaman kuliner yang kaya dan merangsang selera masyarakat. Meskipun di sisi jalan, hidangan-hidangan ini sering kali menggambarkan keahlian kuliner yang tinggi dan perhatian terhadap rasa yang otentik.

Meskipun "tabe hiro" mungkin dianggap sebagai kebiasaan yang tidak lazim di beberapa budaya, di Jepang, hal ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Aktivitas makan sambil berjalan bukan hanya tentang praktisitas, tetapi juga merupakan ekspresi dari dinamika kehidupan di negara yang menghargai setiap detik waktu dan memadukannya dengan kenikmatan kuliner yang autentik.


2. Di China, orang-orang sering makan dengan sumpit kayu

Kebiasaan unik orang China

Penggunaan sumpit kayu di China memiliki sejarah yang kaya dan mencerminkan nilai-nilai tradisional yang masih dijunjung tinggi dalam budaya mereka. Sumpit kayu, atau yang sering disebut sebagai "kuai zi," telah menjadi bagian integral dari tradisi makan China selama ribuan tahun. Sementara di banyak bagian dunia, sumpit mungkin terlihat sebagai alat makan yang eksotis, di China, penggunaannya dianggap sebagai bentuk kesopanan dan adat istiadat yang diwarisi dari generasi ke generasi.

Keunikan penggunaan sumpit kayu, khususnya yang terbuat dari bahan kayu, terletak pada nilai-nilai ekologis dan higienis yang melekat padanya. Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang, China telah mengembangkan tradisi yang menghargai keberlanjutan dan keseimbangan dengan alam. Dalam hal ini, penggunaan sumpit kayu menjadi simbol kesadaran lingkungan, karena kayu adalah bahan yang dapat terurai dan ramah lingkungan.

Selain aspek ekologis, penggunaan sumpit kayu juga mencerminkan nilai-nilai etika dan kesopanan dalam budaya China. Cara seseorang menggunakan sumpit dapat mencerminkan tingkat etiket dan tata krama mereka. Misalnya, mengetuk-ngetukkan sumpit secara terlalu keras dianggap kurang sopan, sementara menggunakan sumpit dengan lembut dan penuh perhatian dianggap sebagai tanda penghormatan terhadap makanan dan teman makan.

Sumpit kayu juga memiliki banyak variasi desain dan pola yang sering kali mencerminkan kekayaan dan status sosial. Beberapa sumpit bahkan dihias dengan ukiran artistik atau warna-warni yang menambah elemen estetika pada pengalaman makan. Ini menciptakan hubungan antara seni dan kehidupan sehari-hari, di mana makanan tidak hanya dianggap sebagai kebutuhan fisiologis, tetapi juga sebagai bentuk seni yang dinikmati dengan segala indera.

Peran sumpit dalam budaya China tidak hanya terbatas pada aspek praktis makanan, tetapi juga mencakup simbolisme dan filosofi hidup. Penggunaan sumpit kayu dapat dilihat sebagai perwujudan dari ajaran Konfusianisme, salah satu filosofi dominan di China, yang menekankan pada nilai-nilai seperti etiket, penghargaan terhadap leluhur, dan harmoni dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, sumpit kayu di China bukan hanya alat makan praktis, tetapi juga sebuah warisan budaya yang sarat dengan makna dan nilai-nilai yang diteruskan dari masa ke masa. Penggunaan sumpit kayu tidak hanya mencerminkan hubungan masyarakat China dengan alam, tetapi juga menjadi penjaga tradisi dan warisan budaya yang terus dijunjung tinggi di tengah modernitas dan perubahan zaman.


3. Di Korea, orang-orang sering makan kimchi

Cara membuat Kimchi

Di Korea Selatan, kimchi bukan sekadar hidangan, melainkan suatu fenomena budaya yang memiliki tempat tak tergantikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai salah satu simbol kuliner Korea yang paling dikenal, kimchi telah menyatu dalam sejarah dan tradisi makanan di negara ini.

Kimchi adalah hasil fermentasi sayuran, dengan kubis dan lobak putih sebagai bahan utama yang umumnya digunakan. Namun, variasi kimchi dapat ditemukan dengan menggunakan berbagai jenis sayuran, seperti lobak Korea dan daun bawang, yang memberikan sentuhan khas pada setiap resep. Proses fermentasi melibatkan campuran rempah-rempah seperti cabai merah, bawang putih, jahe, dan ikan teri, menciptakan rasa yang unik dan kompleks.

Daya tarik kimchi tidak hanya terletak pada cita rasanya yang segar dan pedas, tetapi juga pada manfaat kesehatan yang diakui secara luas. Fermentasi alami menghasilkan probiotik, enzim, dan nutrisi lainnya yang bermanfaat bagi pencernaan dan kesehatan usus. Oleh karena itu, tidak heran jika kimchi dianggap sebagai makanan yang mendukung kesehatan dan kebugaran.

Dalam budaya Korea, kimchi tidak hanya dianggap sebagai hidangan sampingan, tetapi sering kali menjadi bagian utama dari berbagai hidangan. Dari hidangan utama hingga camilan, kimchi hadir dalam berbagai variasi untuk memuaskan selera setiap individu. Dalam beberapa keluarga, pembuatan kimchi bahkan menjadi acara keluarga yang melibatkan generasi-generasi yang berbeda, menggambarkan kekuatan ikatan keluarga dan tradisi yang diwariskan dari waktu ke waktu.

Keunikan dan keberagaman kimchi juga tercermin dalam musim. Tradisi membuat kimchi musim dingin, yang dikenal sebagai "kimjang," adalah suatu peristiwa sosial di mana anggota komunitas datang bersama untuk membuat persediaan kimchi yang cukup untuk musim dingin. Ini adalah momen penting yang tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga memperkuat hubungan sosial di antara tetangga dan teman.

Ketika melangkah ke meja makan Korea, hampir tidak mungkin tidak menemui mangkuk kimchi yang menyala dengan warna merah cerah dan aroma segar. Kimchi bukan hanya hidangan, melainkan penanda kebersamaan, keberagaman, dan kesehatan dalam masyarakat Korea Selatan. Itulah keajaiban kimchi yang melampaui sekadar rasa, menjadikannya suatu aspek yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang kaya dengan warisan budaya dan kekayaan kuliner.


4. Di India, orang-orang sering menggunakan tangan untuk makan

Kebiasaan unik orang India

Di India, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan tidak hanya sekadar tradisi, melainkan juga mencerminkan keyakinan yang dalam bahwa cara ini membantu seseorang merasakan rasa makanan dengan lebih mendalam. Praktik ini telah menjadi bagian integral dari budaya dan cara hidup masyarakat India selama berabad-abad.

Makan dengan tangan di India tidak hanya melibatkan tangan kosong, tetapi seringkali menggunakan roti datar yang disebut "roti" atau "chapati" sebagai alat bantu. Roti tersebut digunakan untuk menjepit dan menggulung hidangan, seperti kari, sayuran, atau daging, sebelum dibawa ke mulut. Proses ini diyakini dapat meningkatkan pengalaman makan dengan memungkinkan seseorang merasakan berbagai tekstur dan rasa secara lebih langsung.

Selain aspek sensoris, makan dengan tangan dianggap memiliki nilai sosial dan budaya yang kuat. Aktivitas bersama-sama saat makan, terutama dalam keluarga atau acara-acara khusus, menjadi momen penting untuk mempererat hubungan antarindividu. Makan bersama dengan menggunakan tangan menciptakan suasana kebersamaan dan keakraban yang sulit dicapai melalui metode makan formal lainnya.

Banyak orang India meyakini bahwa makan dengan tangan adalah cara yang paling alami dan higienis. Beberapa bahkan berpendapat bahwa cuci tangan sebelum dan setelah makan adalah praktik yang lebih bersih daripada penggunaan peralatan makan tradisional. Makan dengan tangan juga dianggap dapat meningkatkan pencernaan, karena sentuhan langsung dengan makanan diyakini dapat merangsang produksi enzim pencernaan dalam tubuh.

Namun, penting untuk diingat bahwa kebiasaan ini mungkin dianggap tidak biasa atau bahkan kurang higienis dalam beberapa budaya lain di seluruh dunia. Sementara makan dengan tangan memiliki makna dan manfaat yang mendalam bagi masyarakat India, persepsi terhadap praktik ini dapat berbeda-beda di berbagai konteks global.

Dalam konteks modern, di mana keberagaman budaya semakin terintegrasi, orang India mungkin menghadapi tantangan dalam mempertahankan tradisi makan dengan tangan mereka. Namun, banyak yang tetap menghargai dan mempraktikkan kebiasaan ini sebagai cara untuk menjaga identitas budaya dan nilai-nilai yang diteruskan dari generasi ke generasi. Makan dengan tangan di India bukan sekadar tindakan fisik, melainkan simbol kebersamaan, kedalaman rasa, dan keterhubungan dengan akar budaya yang kaya.


5. Di Swedia, orang-orang sering berteriak untuk menghilangkan stres

Cewek Swedia

Swedia, sebuah negara yang dikenal dengan budaya dan pendekatannya terhadap kesejahteraan, memiliki cara unik untuk mengatasi stres yang mungkin cukup menarik perhatian. Salah satu metode yang menjadi tren di kalangan warganya dikenal sebagai "scream therapy" atau terapi berteriak. Meskipun terkesan tidak konvensional, metode ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi banyak orang Swedia, yang percaya bahwa berteriak dapat menjadi solusi alami untuk meredakan stres dan melepaskan tekanan emosional.

"Scream therapy" sendiri mengusung gagasan bahwa berteriak dengan keras dapat membantu seseorang melepaskan ketegangan, kekecewaan, dan emosi negatif lainnya. Praktik ini seringkali dilakukan di tempat-tempat terbuka seperti hutan atau danau, di mana seseorang dapat merasa bebas untuk mengekspresikan diri tanpa merasa terbatas oleh lingkungan sekitar. Beberapa bahkan memilih untuk berteriak di atas bukit atau tebing untuk merasakan sensasi kebebasan dan pelepasan yang lebih intens.

Dalam masyarakat Swedia, di mana keseimbangan hidup dan kesejahteraan sangat dihargai, terapi berteriak dianggap sebagai cara untuk mengatasi tekanan hidup modern. Kehidupan yang serba cepat dan tuntutan pekerjaan yang tinggi seringkali dapat meningkatkan tingkat stres, dan "scream therapy" menjadi semacam pelarian yang unik dan efektif.

Ada kelompok-kelompok yang secara teratur mengorganisir sesi berteriak di alam terbuka, dan partisipan dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul untuk bersama-sama melepaskan tekanan. Beberapa orang bahkan membawa teman-teman mereka untuk berbagi pengalaman ini, menciptakan atmosfer dukungan sosial yang positif. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa aktifitas fisik seperti berteriak dapat merangsang pelepasan endorfin, yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan, sehingga memberikan manfaat tambahan bagi kesejahteraan psikologis.

Meskipun terapi berteriak mungkin terdengar aneh bagi beberapa orang, pendekatan ini mencerminkan semangat Swedia dalam merawat kesejahteraan mental dan fisik. Pendekatan yang unik ini menyoroti pentingnya menemukan cara-cara pribadi untuk mengatasi stres dan merawat keseimbangan hidup. Sebagai suatu cara yang melibatkan alam dan kebebasan ekspresi, terapi berteriak di Swedia mewakili pendekatan yang kreatif dan alami dalam mengelola tekanan kehidupan sehari-hari.

Gaya hidup adalah salah satu aspek yang paling mencerminkan keanekaragaman budaya di seluruh dunia. Melalui gaya hidup mereka, masyarakat di berbagai negara mempertahankan tradisi mereka dan menciptakan kebiasaan yang membedakan mereka dari yang lain. Dengan menjelajahi fakta-fakta unik ini, kita dapat lebih memahami keragaman dunia ini dan menghargai keunikan setiap budaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konstruksi Sistem: Pengertian, Tujuan, dan Langkah-Langkah

(CERPEN) Senja di Angkringan

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *