Pejabat Milenial, Cerminan Pejabat Pribumi Zaman Kolonialisme?
Bangsa Indonesia melewati banyak pertumpahan darah demi meraih kemerdekaan yang sebenarnya. Berbagai macam penindasan yang menyengsarakan masyarakat berhasil dihempas dengan pembacaan teks proklamasi, walaupun setelahnya masih ada peristiwa baru yang mengganggu kedaulatan negara. Menilik ke masa lampau, tepatnya pada zaman kolonialisme Belanda, keadaan bangsa Indonesia sungguh-sungguh di ujung tanduk. Penjajahan Belanda di Indonesia berlangusng selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan Belanda menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami ragam eksploitasi dan penindasan.
Pemerintah kolonial Belanda menerapkan ragam sistem kolonialisme, yang semuanya merugikan masyarakat pribumi. Termasuk dalam hal penghisapan ekononmi dan penindasan politik. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan sumber daya alam Indonesia, seperti bijih timah, minyak bumi, kopi, dan rempah-rempah, untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri. Mereka memonopoli perdagangan dan memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja di perkebunan atau tambang dengan upah yang sangat rendah. Sistem eksploitasi ini menyebabkan kemiskinan yang meluas di kalangan rakyat Indonesia.
Pemerintah kolonial Belanda juga membatasi kebebasan rakyat Indonesia dalam beragama, berbicara, dan bergerak. Mereka melarang penggunaan bahasa Indonesia di sekolah dan memaksa rakyat Indonesia untuk belajar bahasa Belanda. Ini menyebabkan banyak rakyat Indonesia kehilangan identitas dan kehilangan akses ke pendidikan yang layak.
Pemerintah kolonial Belanda juga menindas rakyat Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak mereka. Mereka menangkap dan mengasingkan para pemimpin nasional seperti Soekarno dan Hatta, dan menggunakan kekerasan untuk menekan perlawanan rakyat Indonesia.
Namun di balik itu semua, ada fakta penting yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia. Seorang penulis Belanda, Multatuli atau Edward Douwes Dekker, dalam karyanya yang berjudul “Max Havelaar” mengkiritk prkatik bejat kolonialisme Belanda dan perilaku pejabat pribumi yang menyengsarakan masyarkat pribumi. Ya, kamu tidak salah dengar.
Dalam "Max Havelaar", Multatuli menggambarkan betapa korup dan kejamnya pejabat pribumi yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dia menunjukkan bagaimana pejabat pribumi tersebut memeras uang dari rakyat jelata, menyita tanah milik rakyat, dan memaksa rakyat untuk bekerja sebagai budak. Selain itu, Multatuli juga mengkritik sistem kolonial yang memungkinkan pejabat pribumi ini bertindak semena-mena tanpa ada akuntabilitas yang jelas.
Pejabat pribumi diberi tanggung jawab untuk mengumpulkan pajak dari masyarakat pribumi. Namun, sistem ini seringkali tidak adil dan menyebabkan penderitaan ekonomi bagi masyarakat pribumi. Misalnya, di wilayah Jawa, pajak dikenakan pada tanah yang digunakan untuk bertani atau pada hasil pertanian, sehingga banyak petani pribumi terpaksa menjual tanah mereka atau meninggalkan pertanian mereka karena tidak mampu membayar pajak.
Selain itu, Pejabat pribumi seringkali bekerja sama dengan penjajah untuk mengambil alih tanah milik masyarakat pribumi. Tanah ini kemudian digunakan untuk kepentingan penjajah atau pejabat pribumi itu sendiri, sementara masyarakat pribumi kehilangan akses ke sumber daya alam yang penting bagi kelangsungan hidup mereka.
Pejabat pribumi juga terkadang melakukan praktik pekerjaan paksa terhadap masyarakat pribumi, seperti memaksa mereka untuk bekerja di ladang atau pabrik dengan upah yang sangat rendah atau bahkan tanpa upah sama sekali. Di beberapa wilayah di Hindia Belanda, pejabat pribumi dikenal karena memperbudak orang-orang dari kelompok etnis yang berbeda. Misalnya, di wilayah Batak, Sumatera Utara, pejabat pribumi dikenal karena memperbudak orang-orang dari kelompok etnis lain dan menjual mereka ke para pedagang. Pejabat pribumi ini bahkan membuka pasar budak di kota Medan, yang di dalamnya orang-orang yang diperbudak diperdagangkan seperti barang dagangan.
Perbudakan terhadap masyarakat pribumi yang dilakukan oleh pejabat pribumi | Foto: Riau1 |
Pejabat pribumi juga terkadang melakukan diskriminasi dalam akses masyarakat pribumi terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan. Misalnya, sekolah dan rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah kolonial seringkali hanya diperuntukkan bagi orang-orang non-pribumi, sementara masyarakat pribumi tidak mendapatkan akses yang sama.
Pejabat pribumi juga terlibat dalam penindasan politik terhadap masyarakat pribumi. Misalnya, di akhir abad ke-19, pejabat pribumi di Aceh berkolaborasi dengan Belanda untuk menindas gerakan kemerdekaan Aceh. Mereka memimpin pasukan lokal yang disebut "panglima," dan melakukan kekerasan terhadap orang-orang Aceh yang tidak patuh kepada pemerintah kolonial.
Pejabat pribumi pada zaman kolonialisme Belanda tidak selalu bertindak dengan adil dan menghormati hak-hak masyarakat pribumi. Beberapa pejabat pribumi terlibat dalam praktik kejam seperti perbudakan, penindasan politik, pengambilalihan tanah, dan menetapkan pajak yang sangat berat bagi masyarakat pribumi. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua pejabat pribumi bertindak seperti ini dan ada juga pejabat pribumi yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat pribumi. Semua hal ini menunjukkan bahwa kompleksitas dan kerumitan masa kolonialisme Belanda dan kisah tragis dari pengambilalihan hak-hak masyarakat pribumi di Hindia Belanda.
Lantas, apakah pejabat milenial yang berkarya saat ini merupakan cerminan dari pejabat pribumi zaman kolonialisme Belanda? Tidak sepenuhnya benar bahwa pejabat milenial adalah cerminan pejabat pribumi zaman kolonialisme. Sebagai sebuah generasi, pejabat milenial memiliki latar belakang, pengalaman, dan cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya, termasuk generasi pejabat pribumi pada zaman kolonialisme.
Meskipun ada kemungkinan bahwa beberapa aspek dari sistem dan budaya kolonial masih terlihat dalam institusi dan praktik pemerintahan saat ini, hal tersebut tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan generasi pejabat milenial. Sebagai gantinya, kita perlu mengakui bahwa generasi pejabat milenial memiliki tantangan, tuntutan, dan harapan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di tengah-tengah era teknologi dan informasi yang maju, di mana transparansi dan partisipasi masyarakat semakin penting, dan mereka mungkin lebih terbuka terhadap perubahan dan inovasi.
Namun, di sisi lain, pejabat milenial juga menghadapi masalah dan kompleksitas yang sama dengan generasi sebelumnya dalam memimpin, membangun kepercayaan publik, dan menjalankan pemerintahan yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melihat pejabat milenial sebagai entitas yang unik dan kompleks, dan bukan hanya cerminan dari generasi sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar