Nyiur Melambai-Lambai
Senja kian meredup, berbarengan dengan angin laut beritup sepoi-sepoi. Gerakan massa udara itu menghardik pasir-pasir halus pantai yang terhampar luas bak permadani putih. Bahana deburan ombak terindra dari kejauhan, menyatu dengan riuh rendah suara manusia yang memadati tepi pantai.
Langit memamerkan warna merah jingga yang kian pekat, mentransformasi warna biru cerah bekas langit siang. Burung-burung camar mulai terbang di atas air laut, mencari makanan penutup hari. Dari kejauhan, tertilik siluet kapal-kapal nelayan yang berlayar meninggalkan jejak putih di permukaan laut. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, berbaris rapi memagari tepian pantai.
Beberapa anak kecil tampak asyik bermain di tepi air, sambil meracau dan tertawa riang mengejar bola plastik yang terkadang terseret ombak. Ada pula yang sibuk bermain pasir, membentuk istana seolah-olah arsitek hebat.
Terlihat juga beberapa orang tua yang tengah duduk di kursi lipat, memandang atmosfer ketenangan. Wajah mereka turut binar menonton tingkah konyol anak-anak pantai. Seiring perputaran waktu, suasana di tepi pantai kian meriah, apalgi sunset telah muncul di kejauhan.
Namun di tengah hiruk pikuk pantai sore hari, terlihat seorang anak kecil duduk di batu karang sendirian. Matnya terlihat sayu sambil menatap ke arah laut yang luas. Nafasnya terengah-engah, seolah terkuak beban berat di dalam dadanya. Suasana haru dan melankolis menyelimuti keheningan senja yang makin meranggas.
Anak kecil itu memandang ke arah langit yang mulai berubah warna, seolah paham akan perasaanya yang kacau. Pikirannya menerawang jauh, mengingat peristiwa pahit yang meninggalkan luka hebat di dalam hatinya.
Sedikit demi sedikit, air mata mulai menetes dari netra anak itu. dia merasa sendirian tanpa tahu harus berbuat apa. Namun, seiring dengan gemericik ombak yang makin keras berteman nyiur melambai-lambai, dia merasakan kehangatan yang menenangkan hatinya.
Anak kecil itu memandang dua pohon kelapa besar yang batangnya sedikit miring ke arah laut. Entah sebuah kebetulan, pohon kelapa itu tumbuh berdejatan. Daun hijaunya yang lebar dan panjang menjuntai ke udara. Daun-daun kelapa itu tampak gemerisik dengan lembut ditiup angin laut yang lembut, menghasilkan suara yang menenangkan dan merdu. Pohon kelapa itu kian menawan dengan cahaya matahari sore yang menerangi daun-daunnya.
Hingga pada perjalanan waktu beberapa menit, angin pantai bertiup sepoi-sepoi. Daun-daun kelapa itu melambai-lambai, seolah memberikan salam pada anak kecil yang kesepian. Anak kecil itu merasakan hal yang berbeda, dia merasa tidak sendirian.
Anak kecil itu bernama Lexa. Tubuhnya tampak kurus dan kotor, dengan baju lusuh yang menyelimuti badannya. Rambutnya kusut, menambah kesan bahwa dia hidup dalam kondisi yang sulit. Lexa tak pernah absen menjajal pantai tiap sore. Memandang lautan luas tanpa batas dari atas batu karang, berteman dua nyiur yang aktif melambai-lambai, suasana hatinya terasa hangat. Lexa bisa merasakan haru dan keindahan dari senja yang akan lenyap.
Ada sedikit harapan dalam tiap doa-doa dari mulut kecilnya. Harapan akan kemunculan kedua orang tuanya yang sepuluh tahun lalu meninggalkannya sendirian di rumah. dia masih ingat bagaimana kakinya yang telanjang menapak tanah, mengejar kedua orang tuannya ke Pelabuhan.
Lexa hanya anak kecil kala itu, tanpa tenaga kuat layaknya orang dewasa. Dalam detik-detik terakhir dia hanya mampu menaiki batu karang besar, arkian mengarahkan kedua netranya pada kapal yang bergerak menjauhi pelabuhan. Kapal besar itu membawa pergi kedua orang tuanya dan sampai kini enggan Kembali. Lexa hancur dan terpuruk, menangis dengan mata yang merah dan bengkak. Tubuhnya roboh, terjun bebas menghantam pasir pantai.
Kini Lexa datang dengan harapan baru yang besar. dia selalu duduk rapi di atas karang sembari melapalkan doa-doa, penuh harap akan kemunculan orang tuanya. Meski waktu telah berputar sepuluh tahun, dia tak putus asa akan keajaiban dari sang empunya dirinya.
Matahari kian tenggelam ke dalam lautan. Seketika, langit yang tadinya merah jingga, berubah menjadi ungu tua dan biru gelap, menandakan bahwa malam telah tiba. Tetap saja keindahan yang ditinggalkan matahari tidak hilang begitu saja. Warna-warna merah, oranye, dan kuning masih terpancar di langit, membiaskan cahaya yang memesona sebelum akhirnya hilang dan digantikan oleh malam yang gelap.
Lexa bangkit berdiri. Dengan harapan besar yang tertanam dalam hati, dia berjalan meninggalkan pantai. Sesekali dia melirik ke belakang, arkian tersenyum saat netranya menangkap lambaian nyiur seolah memberikan tanda perpisahan.
Kaki telanjang Lexa berusaha menghindari batu dan sampah yang berserakan di jalan setapak. Di tangannya, dia memegang sebuah kaleng bekas yang berisi barang-barang kumuh seperti botol plastik bekas dan kertas koran usang. Anak itu tampak asyik mengumpulkan barang-barang tersebut, seolah itulah satu-satunya tugas yang harus dia lakukan setiap hari.
Ketika dia melewati toko-toko yang berjejer di tepi jalan, matanya terpesona dengan mainan yang terpampang di etalase. Namun, dia segera mengalihkan pandangannya, menyadari bahwa semua itu bukanlah miliknya.
***
Lexa tengah asyik mengumpulkan barang bekas di sekitar tempat sampah. Pemulung menjadi sumber penghidupan bagi dirinya. Lexa tampak lelah dan kusam. Wajah kecilnya pucat dan dipenuhi goresan halus yang mengeluarkan bercak kemerahan. Tangan kecilnya menenteng kantung plastik besar, yang kini telah terisi ragam barang bekas. Pakaiannnya tak jauh berbeda dengan wajahnya yang lusuh, dengan sepatu yang terlalu kecil untuk kakinya.
Lexa tampak bersemangat memungut barang bekas. dia asyik memilah-milah, arkian menaruh pada kantung plastik di tangannya. Hingga teriakan keras yang memanggil namanya membuat aktivitas itu berhenti.
“Lexa, kemarilah!” ucap Bang Swen, pemilik tempat pembuangan akhir tempat Lexa menyambung nyawa.
Lexa menganggukkan kepala arkian berlari kecil menuju rumah besar.
“Ada apa, Bang?” ucap Lexa dari gerbang. dia rendah diri untuk masuk ke istana nan megah itu.
“Aku bilang kemari, Lexa. Bukan berdiri kaku di gerbang,” ucap Bang Swen sambil tertawa kecil.
Dengan keraguan dalam hati Lexa melangkahkan kaki, memasuki istana yang membuatnya menganga hebat.
“Minumlah, pasti lelah memungut sampah siang-siang begini”
“Terima kasih, Bang,” balas Lexa sambil meminum secangkir air putih yang terhidang di meja.
“Aku ingin bertanya pada dirimu, tetapi sedikit sensitif. Apakah kamu bersedia?”
Lexa meneguk ludah. dia tidak tahu apa yang harus diperbuat.
“Tentu boleh, bang,” balas Lexa.
“Apa arti orang tua bagi dirimu?”
Lexa terbelalak kaget. dia terdiam sejenak, sembari merangkai balasan yang cocok untuk menjawab pertanyaan Swen.
Lexa menghela napas panjang. “Orang tua ibarat nyiur yang melambai-lambai di tepi pantai. Seperti nyiur yang tumbuh di tepi pantai, orang tua menjadi sosok pemberi perlindungan dan kenyamanan bagi anak-anaknya. Seperti nyiur yang melambai-lambai, orang tua memberikan arahan kepada anak-anaknya,” ucapnya dengan mata yang memerah.
Bang Swen tersenyum kecil, seperti mendapat benda yang berharga.
***
Senja telah memamerkan diri. Angin laut yang sepoi-sepoi bertiup meniupkan aroma asin yang khas dari air laut ke seluruh penjuru. Ombak-ombak besar terdengar memecah di bibir pantai, menghasilkan suara yang menenangkan dan menyejukkan hati. Di langit, awan-awan putih mulai berganti menjadi kemerahan, mencerminkan keindahan matahari yang mulai tenggelam di cakrawala. Langit terlihat makin cerah, seolah memancarkan keindahan yang makin terang.
Di tepi pantai, terlihat beberapa orang yang menikmati senja dengan berbagai aktivitas yang berbeda. Beberapa orang berjalan-jalan di sepanjang pantai sambil menikmati pemandangan yang indah, sementara yang lain bermain bola atau terjun ke air laut yang makin dingin.
Lexa telah duduk di batu karang, seperti lazimnya. dia memandang jauh ke laut luas, sembari mulutnya melapalkan doa-doa penuh harapan. Hingga sepersekon detik kemudian, dua gabungan suara membuyarkan lamunanya.
“Orang tua ibarat nyiur yang melambai-lambai di tepi pantai. Seperti nyiur yang tumbuh di tepi pantai, orang tua menjadi sosok pemberi perlindungan dan kenyamanan bagi anak-anaknya. Seperti nyiur yang melambai-lambai, orang tua memberikan arahan kepada anak-anaknya”
Lexa terbelalak kaget mendengar suara itu. Wajah lusuhnya mendadak pucat dengan netra yang kian membulat. Lexa terdiam sejenak, sembari memberanikan diri memutar tubuhnya 180 derajat.
“Nak,” ucap dua orang secara bersamaan.
Lexa menatap dua sosok yang berdiri di hadapanya. dia menatap lamat-lamat wajah kedua orang tuanya yang sepuluh tahun lalu meninggalkan dirinya dalam kesepian. Rasa haru mewarnai hati Lexa.
Ketika mereka makin mendekat, Lexa melihat bahwa wajah kedua orang tuanya makin berubah oleh usia, namun raut wajah mereka masih sama. dia segera berdiri, terbata-bata, dan mata mereka bertemu. Tangis haru pun pecah dari bibir Lexa, dia merasa lega dan bahagia sekaligus.
Orang tua itu tersenyum, merangkul Lexa dan mengusap air matanya. Mereka bercerita tentang kehidupan masing-masing, tentang semua yang telah terjadi selama puluhan tahun berlalu. Lexa merasa seperti kembali ke masa lalu, ketika dia masih kecil dan orang tuanya selalu ada di sisinya.
Mereka berjalan-jalan di sepanjang pantai, menikmati keindahan alam sambil mengobrol dan tertawa. Anak kecil itu merasa seperti hidupnya telah menjadi lengkap lagi, dan semua yang pernah hilang telah kembali. Setelah bertahun-tahun berpisah, mereka akhirnya bertemu di tempat yang sama dan kebahagiaan pun merajai hati mereka.
*TAMAT*
WARNING!
Menciptakan sebuah karya adalah hal yang melelahkan. Dibutuhkan imajinasi dan keahlian yang terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dimohon untuk menghidupkan rasa kemanusiaan yang tersimpan di dalam diri agar tidak mengcopy dan menjiplak apapun tanpa izin dari penulis. Mari bersama-sama mendukung ekosistem kepenulisan yang baik di tanah air. Terimakasih.
TTD
Van Raja
Komentar
Posting Komentar