Bagaimana Sejarah Perbudakan di Indonesia?

Sejarah perbudakan di Indonesia

Sejarah perbudakan di Indonesia bermula sejak zaman  pra-kolonial. Perbudakan di Indonesia awalnya terjadi dalam bentuk perbudakan domestik, di mana mana orang-orang dijadikan budak oleh tuannya dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak-anak, atau pekerja ladang.

Perbudakan Zaman Kerajaan

Perbudakan di zaman kerajaan Indonesia bermula akibat peperangan atau penaklukan. Orang-orang yang ditangkap dalam peperangan seringkali dijadikan budak oleh pihak yang menang. Sistem perbudakan di zaman kerajaan Indonesia biasanya didasarkan pada status sosial dan ekonomi. Budak biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung atau dianggap sebagai kelompok minoritas. Mereka sering kali diambil dari daerah-daerah yang dikuasai oleh kerajaan.

Bagaimana perbudakan Zaman Kerajaan
Budak Perang Zaman Kerajaan | Foto: Intisari

Di dalam sistem perbudakan zaman kerajaan, budak dianggap sebagai milik majikannya, dan mereka tidak memiliki hak untuk memilih atau menentukan nasib mereka sendiri. Budak biasanya diperdagangkan atau diberikan sebagai hadiah oleh kerajaan kepada bangsawan atau pangeran sebagai bentuk penghargaan atau sebagai alat politik untuk menjaga kekuasaan dan memperkuat aliansi politik.

Contoh perbudakan di Indonesia zaman kerajaan adalah perbudakan di Kerajaan Bali. Dalam sistem ini, ada tiga kelas sosial yang diakui: Brahmana (priyayi, kaum bangsawan), Satria (kaum ksatria), dan Wesia (kaum pedagang, petani, dan buruh). Di bawah kelas Wesia, ada kelas terendah yang terdiri dari orang-orang yang dianggap tidak memiliki status sosial yang cukup tinggi, seperti budak.

Budak dalam sistem perbudakan Kerajaan Bali biasanya dibeli atau diambil dari daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Jawa dan Lombok. Mereka dijadikan budak oleh pemilik tanah atau pemimpin lokal dan biasanya bekerja di perkebunan atau sebagai pelayan. Budak di Kerajaan Bali dianggap sebagai harta yang berharga dan seringkali diperlakukan dengan kejam dan tidak manusiawi. 

Selain itu, kasus perbudakan juga terjadi pada kerajaan lain di Indonesia. Pada Kerajaan Majapahit, perbudakan dipraktikkan sebagai bagian dari sistem ekonomi dan sosial. Budak diambil dari wilayah yang ditaklukkan dan dijadikan sebagai alat produksi di perkebunan dan industri kerajaan. Sedangkan perbudakan pada Kerajaan Demak biasanya dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap musuh, seperti orang Portugis dan orang Tionghoa. Budak juga diambil dari daerah-daerah yang dikuasai oleh kerajaan, seperti Bali dan Sunda.

Perbudakan di Kerajaan Aceh biasanya ditujukan kepada para tawanan perang dari bangsa Eropa atau Asia. Budak dijadikan sebagai alat produksi di perkebunan dan tambang, dan seringkali diperdagangkan ke daerah-daerah lain di Nusantara atau ke negara-negara lain di luar Nusantara. Perbudakan di Kerajaan Banten ditujukan kepada orang-orang yang dianggap sebagai musuh atau orang-orang yang berhutang dan tidak dapat membayar. Budak dijadikan sebagai alat produksi di perkebunan atau sebagai pelayan di istana kerajaan.

Pada umumnya, budak di zaman kerajaan dijadikan sebagai alat produksi dan seringkali diperdagangkan atau dipindahkan dari satu wilayah ke wilayah lain sesuai dengan kebutuhan majikannya. Hal ini menunjukkan bahwa perbudakan di zaman kerajaan tidak hanya merupakan akibat dari konflik atau perang, tetapi juga sebagai bagian dari sistem ekonomi dan sosial di dalam masyarakat kerajaan.


Perbudakan Zaman Kolonial

Zaman kolonial di Indonesia dimulai pada abad ke-16, ketika bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda mulai memasuki wilayah Indonesia untuk menguasai sumber daya alamnya, seperti rempah-rempah, kayu, dan bijih tambang.

Sistem perbudakan pada zaman kolonial di Indonesia sangat kejam dan merugikan, terutama bagi budak yang ditangkap dan diperdagangkan oleh Belanda. Pada awal abad ke-17, Belanda membawa banyak budak dari Afrika ke Indonesia untuk bekerja di perkebunan, tambang, dan proyek-proyek pembangunan. Selain itu, orang-orang Indonesia yang dianggap memberontak atau melanggar hukum kolonial juga dijadikan budak.

Budak di bawah pemerintahan Belanda di Indonesia tidak dianggap sebagai manusia, tetapi sebagai barang atau properti yang dapat diperjualbelikan. Mereka diperlakukan dengan sangat kasar dan tidak manusiawi, seperti hewan atau benda mati. Mereka dipaksa bekerja selama berjam-jam di bawah terik matahari dan dihukum dengan cara yang kejam jika melanggar peraturan. Mereka tidak diberi hak-hak yang sama dengan manusia lainnya, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, dan kebebasan berbicara.

Sistem perbudakan Belanda disebut “cultuurstelsel” atau sistem tanam paksa. Masa perbudakan tanam paksa pada masa colonial yang pernah terjadi di Indonesia berlangsung sejak 1830 dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Sistem ini digunakan sebagai cara untuk memaksimalkan produksi di perkebunan Belanda di Indonesia dengan cara memaksa petani-petani lokal untuk menanam tanaman ekspor tertentu seperti kopi, teh, dan indigo.


Johannes van den Bosch
Johannes van den Bosch | Foto: Wikipedia

Dalam sistem ini, petani dikenai kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda, yang kemudian dijual di pasar internasional. Kewajiban ini biasanya berupa kuantitas yang sangat besar, hingga menyebabkan petani kekurangan makanan dan terpaksa mencari penghasilan di luar pekerjaan pertaniannya.

Sistem tanam paksa ini mengakibatkan banyak petani menjadi korban perbudakan dan dianggap sangat tidak manusiawi. Selain itu, sistem ini juga menyebabkan kemiskinan dan kelaparan di kalangan petani Indonesia dan keuntungan yang didapat dari eksploitasi ini kebanyakan dialokasikan untuk membiayai birokrasi kolonial Belanda dan kemajuan ekonomi di Eropa.

Selain itu, pada awal abad ke-19, Belanda juga menerapkan kerja rodi yang dilakukan oleh para pekerja yang disebut “coolie” atau buruh kontrak. Para coolie ini direkrut secara paksa dari desa-desa di Jawa dan dikirim ke daerah-daerah lain di Indonesia atau bahkan ke luar negeri seperti Suriname, Guyana, dan Karibia. Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang sangat buruk, termasuk bekerja di perkebunan, pertambangan, atau proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan kereta api dan jalan raya.


Apa itu kerja rodi
Kerja rodi zaman penjajahan Belanda| Foto: Kompas

Para coolie ini diperlakukan dengan sangat kejam, dipaksa bekerja berjam-jam dalam kondisi yang berat dan sering kali tidak memperoleh gaji yang layak. Mereka juga sering kali diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh para majikan atau mandor mereka, dan banyak yang meninggal akibat kondisi kerja yang buruk dan penyakit yang menyebar.

Belanda mendirikan penjara khusus di Boven-Digoel, Papua pada awal abad ke-20. Penjara khusus ini digunakan sebagai tempat pengasingan dan pemaksaan kerja paksa bagi para tahanan politik Indonesia. Para tahanan di Boven-Digoel diperlakukan dengan sangat buruk, dipaksa bekerja tanpa henti, dan ditempatkan dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Belanda juga melakukan perbudakan seksual terhadap Wanita Indonesia. Mereka memaksa wanita-wanita tersebut untuk menjadi istri atau pelacur bagi para tentara dan pejabat Belanda.

Kasus perbudakan zaman Belanda tidak hanya dilakukan oleh kelompok kolonial, juga pribumi seperti yang dilakukan oleh Bupati Langkat ke-8. Kasus perbudakan bupati Langkat dilakukan oleh Tengku Rizal Nurdin. Ia memperbudak ratusan orang dari suku Nias dan Simalungun di daerah Langkat, Sumatera Utara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Perbudakan yang dilakukan oleh Tengku Rizal Nurdin ini menjadi salah satu kasus perbudakan yang paling terkenal di Indonesia dan dianggap sebagai bentuk kekejaman yang sangat memprihatinkan.


Perbudakan Zaman Pendudukan Jepang

Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia selama Perang Dunia II, terjadi sistem perbudakan yang dikenal sebagai Romusha. Romusha adalah istilah Jepang untuk "buruh romusa", yaitu buruh paksa yang dipaksa bekerja oleh tentara Jepang dalam berbagai proyek konstruksi seperti jalan raya, jembatan, lapangan terbang, dan instalasi militer lainnya.


Apa itu Romusha?
Romusha | Foto: Tribunnews

Romusha diperoleh dengan cara pemaksaan, di mana warga Indonesia dipaksa untuk bekerja dengan iming-iming mendapatkan gaji dan makanan, namun dalam kenyataannya mereka diperlakukan seperti budak dan dijaga ketat oleh tentara Jepang. Para romusha dipekerjakan dalam kondisi yang sangat buruk, dengan jam kerja yang sangat panjang dan tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan yang memadai.

Perbudakan paksa pada masa penjajahan Jepang memakan banyak korban jiwa. Banyak romusha yang meninggal akibat kondisi kerja yang buruk, kekurangan makanan, dan penyakit yang menyebar. Selain itu, para romusha juga seringkali diperlakukan secara kejam oleh tentara Jepang, termasuk penyalahgunaan seksual dan perlakuan yang tidak manusiawi.

Sistem perbudakan Jepang di Indonesia ini sangat merugikan dan melanggar hak asasi manusia. Setelah perang berakhir, banyak korban romusha yang mengalami trauma dan kesulitan dalam memulihkan diri akibat perlakuan yang mereka terima selama masa perbudakan tersebut. Hari 31 Maret ditetapkan sebagai Hari Peringatan Romusha di Indonesia untuk mengenang para korban dan menghormati perjuangan mereka.


Perbudakan Masa Orde Lama

Pada masa Orde Lama di Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1945 hingga 1966, perbudakan tidak lagi dilakukan secara resmi oleh pemerintah atau militer seperti pada masa kolonial atau pendudukan Jepang. Namun, terdapat beberapa bentuk eksploitasi dan pekerjaan paksa yang masih terjadi pada saat itu.

Salah satu contoh perbudakan pada masa Orde Lama adalah sistem penggajian yang sangat rendah bagi para pekerja di sektor pertanian dan industri kecil. Banyak pekerja yang dibayar sangat murah, bahkan seringkali dibayar di bawah upah minimum dan tanpa jaminan sosial seperti jaminan kesehatan atau pensiun. Selain itu, keadaan kerja mereka seringkali sangat buruk dan tidak aman.

Contoh kasus perbudakan di Indonesia pada masa orde lama adalah praktik pengerahan tenaga kerja paksa dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya dan bendungan, yang dilakukan oleh pemerintah. Para pekerja seringkali dipaksa bekerja tanpa gaji dan tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan yang memadai.

Selain itu, pada masa itu terdapat juga praktik pemerasan yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah terhadap masyarakat setempat. Pejabat pemerintah seringkali memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memaksa masyarakat memberikan uang atau barang-barang berharga sebagai "upeti" atau "uang pelindung". Praktik semacam ini juga dapat dianggap sebagai bentuk perbudakan modern karena masyarakat terpaksa memberikan uang atau barang-barang berharga untuk mempertahankan hidup mereka.


Kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto
Demonstrasi untuk kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto | Foto: Wikipedia

Semua bentuk perbudakan di atas melanggar hak asasi manusia dan merugikan bagi para korban. Pada akhirnya, Undang-undang anti-perbudakan di Indonesia dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie pada tahun 1999, dengan nomor Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan mencegah praktik perbudakan modern di negara ini. Hal ini juga sebagai awal memasuki orde baru.

Selain itu, terdapat juga beberapa undang-undang lain yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan penghapusan praktik perbudakan, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Semua undang-undang tersebut merupakan bukti komitmen pemerintah Indonesia dalam menghapuskan praktik perbudakan dan melindungi hak-hak asasi manusia di negara ini.


Perbudakan Zaman Reformasi: Perbudakan Modern di Indonesia

Meskipun undang-undang anti-perbudakan telah dikeluarkan pada masa Orde Baru, praktik perbudakan masih terjadi di Indonesia pada masa Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 hingga saat ini. Perbudakan modern di Indonesia terus terjadi, seperti perdagangan manusia, kerja paksa, dan eksploitasi anak.

Perdagangan manusia merupakan bentuk perbudakan modern yang sering terjadi di Indonesia, terutama dalam bentuk perdagangan seks. Banyak perempuan dan anak-anak terlibat dalam praktik perdagangan manusia ini, terutama yang berasal dari daerah-daerah miskin di Indonesia. Mereka seringkali dipaksa bekerja di tempat-tempat prostitusi atau di tempat kerja lain yang berbahaya.

Selain itu, masih terdapat praktik kerja paksa dan pekerjaan berbahaya di berbagai sektor, seperti pertanian, industri, dan sektor jasa. Pekerja seringkali bekerja dalam kondisi yang buruk, tidak memiliki perlindungan sosial, dan dibayar upah yang sangat rendah. Terdapat juga praktik eksploitasi anak, seperti penggunaan anak-anak sebagai pekerja kasar atau pekerja rumah tangga.

Upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan berbagai organisasi masyarakat sipil untuk memerangi praktik perbudakan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Beberapa langkah yang telah diambil antara lain adalah penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelaku perdagangan manusia, kampanye sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya perdagangan manusia, serta peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi para pekerja, khususnya pekerja di sektor informal dan pekerja migran.

Perbudakan masih terjadi di berbagai belahan dunia, meskipun telah dianggap sebagai kejahatan internasional dan telah dilarang di banyak negara. Perbudakan modern terjadi dalam berbagai bentuk, seperti perdagangan manusia, kerja paksa, dan eksploitasi anak.

Perbudakan modern ini biasanya terjadi di negara-negara yang miskin dan tidak stabil, di mana masyarakat mengalami kesulitan ekonomi dan perlindungan hukum tidak memadai. Perbudakan juga terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, dan ketimpangan sosial dan ekonomi.

Meskipun demikian, terdapat upaya-upaya untuk memerangi perbudakan dan melindungi hak asasi manusia, baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat sipil. Beberapa negara telah menetapkan undang-undang yang mengkriminalisasi perbudakan dan perdagangan manusia, serta melaksanakan program-program untuk membebaskan korban perbudakan dan memberikan perlindungan serta rehabilitasi bagi mereka.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat global untuk terus meningkatkan kesadaran dan aksi dalam memerangi perbudakan, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga hak asasi manusia dan martabat manusia dapat dihormati dan dilindungi secara adil dan setara di seluruh dunia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konstruksi Sistem: Pengertian, Tujuan, dan Langkah-Langkah

(CERPEN) Senja di Angkringan

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *