(CERPEN) Senja di Angkringan
Ini sebuah kisah sederhana. Antara aku dan dia berteman senja di bawah terpal biru yang membentang menutup atmosfer.
Foto: Van Raja |
Hiruk pikuk kota Bandung kian terasa. Bunyi klakson silih berganti, saling bertautan menengadah ke langit. Kesan pada pusat saraf mengartikan keributan, sebagai penyebab getaran gendangan telinga yang bereaksi.
Manusia-manusia tampak giat menenun keaktifan. Supir ojol beramai-ramai memarkir motor di tepi jalan. Berefek pada kesukaran menapak kaki. Para pedagang kaki lima mulai ramai menjajakan dagangan. Ada tengah mendorong gerobak, tentu ada yang tengah mendirikan angkringan.Pemandangan kota di sore hari yang menjadi makanan sehari-hari.
Rasa lelah mulai merambat memenuhi tubuh. Nafas mulai keos, sekali-sekali tersengal disela pacuan kaki. Helain rambut tampak tak karuan menghadapi goncangan tubuh sedari tadi.
Tanganku bergerak menyeka keringat sembari anggota badan dari siku sampai ke ujung jari itu mengibaskan telapak, berharap angin kecil efektif menyamankan wajah.
Pencatat waktu menunjukkan angka tiga puluh. Menafsirkan tiga puluh menit aku menghabiskan waktu untuk berlari. Memaksa seluruh otot bergerak demi kesehatan jasmani. Astaga, aku munafik sekali. Jika bukan ajakan pacarku, Smith, tentu tak akan pernah aku berlari di senja seperti ini.
Smith sudah menaruh janji sejak kemarin. Dia berancang mengajakku lari sore dan melakukan workout sederhana di lapangan Tegalega. Namun tampaknya itu hanya khayalan. Baru 30 menit waktu berjalan, fisikku benar-benar kelelahan.
“Ini benar-benar melelahkan, Smith!” ucapku pasrah. Bagaimana tidak, wajahku memerah dan detak jantung sulit terkontrol.
Smith menggelengkan kepala, sembari mengukir senyum ke arahku. Sial, barisan giginya yang rapi benar-benar meluluhkan hatiku.
“Padahal belum ada satu kilometer kita berlari. Apakah fisik mu benar-benar lelah?” tanyanya yang segera kubalas dengan wajah kesal.
Smith menatap bingung. Tak tahu jalan penyebab perubahan air mukaku.
“Ada yang salah dengan kalimatku?” tanyanya meminta kepastian.
Aku enggan memutar kepala. Wajahku tetap tegas menatap ke depan sembari berjalan di sebelah kanan Smith.
Tentu saja aku kesal. Sudah jelas bagaimana kondisi ku saat ini. Bisa-bisanya dia bertanya dua kali.
Smith menggigit bibir. “Maaf ya, aku cuman memastikan doank. Takutnya salah dengar”
Aku terkekeh kecil dalam hati. Nikmat sekali membuat Smith memelas seperti itu. Aku harus mengakhiri ini, kasihan melihat anak orang.
“Iya,” jawabku pendek.
Smith tersenyum manis. “Istirahat menjadi pilihan paling tepat agar otot-otot tubuh mu bisa rehat sejenak,” ucap Smith sembari mengarahkan pandangan ke sekitar.
Aku memasang air muka murung untuk kedua kalinya sambil tanganku terlipat di depan dada. Tentu penyebabnya adalah Smith yang tak menatap mataku saat berbicara.
Sepertinya dia menyadari sikap anehku. Lihat sepersekian detik kemudian, dia mencubit pipiku tiba-tiba.
“Cepat banget murungnya, Nona. Aku hanya mencari tempat yang cocok untuk beristirahat. Di sana ada angkringan. Terlihat cocok untuk menemani senja ini,”ucapnya arkian menarik lenganku.
“Bagaimana dengan lanjutan aktivitas berlari kita?”
“Kamu sudah kelihatan sangat lelah. Sudahi saja. Makan sepertinya terlihat lebih menarik”
Aku terkekeh sembari mengelus punggung tangan pria tampan di depan ku.
Angkringan ini tiada beda dengan angkringan lain. Pondasinya dari bambu dengan ujung yang mengikat terpal biru pada bagian atas. Pada bagian samping terbentang spanduk berisi nama-nama menu beserta gambar yang mereka jual. Namun ke arah jalanan kota dibiarkan kosong. Mungkin agar pengunjung bisa bersantap ria sambil menyaksikan ribuan kendaraan yang berlalu-lalang di bawah senja nan orange.
***
Aku menyibakkan rambut ke belakang telinga. Rambut itu menyulitkan pandangan.
“Pilih menu yang mana, Ra?” tanya Smith memecah keheningan.
Aku tersenyum dalam hati. Apakah dia benar-benar menanyakan hal itu pada perempuan? Tentu aku menjawabnya dengan kata sejuta umat perempuan.
“Terserah”
Smith terkekeh kecil. “Selalu saja jawabanmu seperti itu. Yaudah, mang, nasi goreng biasa dua dan teh manis dingin dua”
Suasana kembali hening sejenak. Semilir angin merambat dari celah-celah terpal, membuat suasana semakin sejuk saja. Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, menyisakan langit senja berwarna orange.
Aku menatap pria di depanku lamat-lamat. Rambutnya terpotong pendek khas abdi negara. Wajahnya tegas dengan kulit sawo matang yang membuat penampilannya semakin manis saja.
Sepertinya Smith menyadari bahwa aku menatapnya sedari tadi. Dia menggerakkan tangan lantas mencubit pipiku.
“Sore-sore begini dilarang melamun. Entar terhipnotis angin, lho!” katanya sambil terkekeh.
Aku menutup wajah sembari menenggelamkan diri dalam tawa yang bahak.
“Emangnya angin bisa hipnotis orang? Seberapa besar energinya?”
“Sangat besar, bahkan listrik mampu dia bangkitkan,” balas Smith yang memancing tawa di antara kami berdua.
“Ini nasi goreng dan teh manis dinginnya,” ucap penjual nasi goreng sambil tersenyum-senyum menatap kami.
“Ada apa mang?” tanyaku menyadari tatapannya.
Dia menggeleng. “Kalian berdua tampak serasi”
Aku dan Smith spontan saling tatap, hingga sepersekian detik kemudian mengukir senyum secara bersamaan. Masing-masing tersipu malu.
Nasi goreng perlahan masuk ke dalam sistem pencernaan. Sekali-kali kami bertukar cerita, menambah kehangatan suasana. Hari ini begitu indah. Menikmati kesederhanaan bersama orang tersayang. Menghabiskan senja di angkringan.
-TAMAT-
Komentar
Posting Komentar