(CERPEN) Kamu dan Pensil

Kisah menyemakkan, kala pensil menjadi tolak ukur sebuah hubungan. Antara ketulusan hati atau pemanfaatan jati diri.


contoh cerpen romantis

Desiran angin menemani perjalanan pagi seorang laki-laki berseragam SMA. Dia okuler mengendarai sebuah motor besar berwarna hitam. Mesin bertenaga penggerak superior itu melaju elusif membelah jalanan kota. Entah hal apa terbesit di trubadur, sporadis dia menyalip mobil-mobil yang mencoba memblokir jalan di depannya. Nihil rasa takut, bahkan truk pengangkut barang berat juga digorok kuat-kuat. 

Sesekali ia membanting keras motornya. Bahana tabrakan bogem mentah dan ferum penyusun motor meruak di atmosfer. Lebih-lebih kepala terbungkus helm, bisa dikenyam bahwa amarah tengah memuncaki pikiran laki-laki itu.

Laki-laki berseragam SMA itu bernama Malvin. Bersekolah di salah satu SMA negeri favorit di Surabaya. Tubuhnya tinggi dan tegap, mengekspresikan titel kapten basket di pundaknya. 

Perputaran waktu saat ini membawa dirinya pada keadaan menunggang motor menuju sekolah. Sembari sporadis melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, Malvin berucap kata serapah. Mengutuk keras orangtuanya atas penyebab keterlambatan hari ini.  

Jam sudah mengiktikadkan pukul tujuh lebih dua puluh lima menit. Tersisa lima menit bagi Malvin sebelum gerbang sekolah ditutup.

Malvin mengigit bibir. Pertanda kecemasan tengah menghantui batinnya.

“Bagaimana mungkin aku akan terkena poin lagi? Ini sudah yang kesekian kalinya aku terlambat. Sialan,” ucapnya dengan penuh kekesalan.

Motor besar Malvin lasat memacu krida. Terkadang menempuh jalan kanan hendak memotong alur mobil putih di depan. Sporadis juga mencagak tipis beberapa motor yang mencoba mendahuluinya.

Okuler mengecewakan. Walakin menenggak nilai kecepatan maksimum, Malvin tetap saja terlambat ke sekolah. Tempat orang-orang menuntut ilmu itu enggan menunggu siswa pelanggar disiplin.

Gedung sekolah sukses mengekspos diri dari kejauhan. Penampakan dinding kuning dengan hiasan jendela kaca putih berhasil mengukir senyum Malvin, meski sedikit. Hingga beberapa menit waktu berjalan, Malvin akhirnya berhasil tiba. Bulan belum berpihak pada dirinya, gerbang sekolah sudah menutup hati.

Malvin melepas helm arkian memposisikan alat pelindung kepala ketika berkendara itu di badan motor. Sepersekian detik kemudian, Malvin mengibaskan rambut lurusnya. Lihat bagaimana aura ketampanan Malvin menghipnotis para wanita penjaga gerbang.

“Bukain gerbangnya,” ucap Malvin penuh ketegasan. Matanya sinis menatap orang-orang di sekitar. 

Tidak ada satpam penjaga di sekolah Malvin. Tugas penjagaan gerbang sekolah diemban oleh pengurus OSIS. Setiap pagi sebelum waktu baris berbaris dimulai, dan sore setelah semua murid pulang sekolah, mereka akan menjadi petugas penjaga gerbang. Tugas yang memberatkan pundak.

Petugas penjaga gerbang pagi ini ada tiga orang. Dua laki-laki, Wayne dan Eric si ketua dan wakil ketua OSIS, dan satu perempuan, Emma yaitu sekretaris OSIS.

Wayne dan Eric menggeleng bersamaan. Sedikit gugup, okuler dari tatapan netra mereka.

“Adek kelas udah merasa paling jago,-“

Malvin duduk di kelas dua belas, yang artinya paling tua di sekolah. Sementara pengurus OSIS dari kelas sebelas.

“Lu gak dengar apa yang gue omongin? Gue senior Lo, cepat buka gerbangnya,” kata Malvin murka.

“Maaf bang, tapi Abang udah melakukan kesalahan. Tertulis di buku point tabel 3. Abangmtelah melakukan keterlambatan waktu ke sekolah dengan poin kesalahan lima”, balas Wayne.

“Betul bang. Peraturan tetaplah peraturan. Tidak ada tindakan spesial terhadap orang yang melakukan kesalahan. Bahkan senior sekalipun,” timpal Eric.

Malvin menghela nafas panjang. Dia mengacak-acak rambutnya dan mendesis pelan.

“Apa gue menaruh kepedulian untuk semua peraturan konyol itu? Lu lihat netra gue? Tidak ada rasa kepedulian sedikitpun”

Wayne meneguk ludah. “Kami juga tidak menaruh kepedulian terhadap Abang. Bahkan ketika Abang terlambat atau hadir tepat waktu sekalipun. Kami hanya melaksanakan tugas, tak lebih dari itu “

“Bangsat,” racau Malvin sambil mendeportasi gerbang sekolah. Bahana menyeruak di atsmosfer.

Peristiwa barusan mendebarkan ketiga penjaga gerbang. Netra mereka terbelalak kaget sembari menjaga jarak dari gerbang.

“Yaudah, sekarang mau Lo apa? Hukum gue lagi?” tanya Malvin untuk kesekian kali, sembari mencoba menenangkan diri. Dia sudah terbiasa mendapat hukuman seperti ini.

Wayne mengukir senyum yang membuat Malvin menatap tajam.

“Kali ini tidak ada hukuman bang. Karena total poin pelanggaran telah mencapai 295 dan tersisa lima, kami tidak perlu mengadakan hukuman”

Malvin terbelalak kaget. Bagaimana mungkin poinnya telah terkumpul sebanyak itu? Batas maksimum poin pelanggaran adalah tiga ratus. Jika mencapai tiga ratus, bersiaplah untuk dikeluarkan dari sekolah.

Dari sudut pandang berbeda, muncul utopia pilu yang bongkar-bangkir. Memirsa lamat-lamat seseorang yang menjadi tambatan hati tengah terpuruk pada kondisi fluktuatif. Hati tak mampu bersiasat layaknya lidah. Benar-benar natural menyayat hati. 

Hati Emma benar-benar lumpuh. Ya, pengagum besar seorang Malvin dalam diam, dialah Emma si sekretaris. 

Wajah Malvin selalu terbawa dalam relung mimpi. Lebih-lebih perilaku Emma yang selalu menutup malam dengan merangkai kata menjadi kalimat penyejuk hati. Ciptaan khusus untuk Malvin. Memang terlihat norak dan kampungan, tapi hanya hal itu yang mampu Emma lakukan.

Sporadis dia berdoa kepada sang khalik agar dipertemukan dengan Malvin pada momen romantis. Memang sudah berapa kali Emma mendapat Malvin yang terlambat ke sekolah, tapi bukan dalam momen itu dia ingin bertemu dengan Malvin. 

Emma sudah berulang kali mencatat poin kapten basket sekolah di buku poin pelanggaran. Ingin ia berjalan mendekat ke arah Malvin arkian berbisik syahdu agar pria itu memperbaiki diri.

Emma terlalu peduli. Sampai-sampai ia tahu bagian tubuh mana dari Malvin yang lecet akibat pertandingan basket antar kelas yang berlangsung sejak Senin kemarin. Totalnya ada sebelas. Dua di atas alis, tiga di pipi kanan dan kiri, satu di telinga, tiga pada bagian bibir, sisanya di bawah mata. Emma juga hapal jumlah tahi lalat di wajah Malvin. Entah bagaimana ia sehebat itu dalam melakukan penghapalan.

Wayne melangkahkan kaki ke depan arkian membuka gerbang agar Malvin bisa masuk.

Malvin meneguk ludah. Sambil memarkirkan motor, dia mulai merasa ada sesuatu yang berat di atas kepalanya. Pikiran besar yang menghambat kinerja otak. Namun Malvin berusaha tegar. Dia memaksa kedua matanya tetap melotot, meski bayang-bayang hitam menusuk sesekali.

Motornya berhasil terparkir dan ia bergegas menuju kelas. Perhelatan Liga OSIS yang mempertontonkan berbagai pertandingan antar kelas dan antar angkatan sudah dimulai sejak Senin Minggu kemarin. Malvin sebagai kapten basket sekolah memimpin kelas 12 Mia 4 yang tak bukan adalah kelasnya dalam kejuaraan bergengsi intern sekolah. Dia juga yang dipilih sebagai kapten.

Malvin telah tiba di kelas, yang sepersekian detik kemudian disambut gemuruh oleh teman sekelasnya.

“Kebiasaan telat Lu ya, Vin. Untung aja finalnya belum mulai,” ucap Kios teman Malvin.

“Betul. Kalau Lu absen, siapa yang bakal gendong tim kita. Auto runner-up ini mah. Untung ada Lo, jadi bakal gampang ngalahin junior di final, meski kata siswa yang lain mereka jago” tambah Udin berbadan bongsor.

Malvin hanya melontarkan senyum sebagai balasan. Ia lantas mendudukkan tubuh di kursi, sembari mengeluarkan pakaian basketnya. Terasa aneh menyaksikan Malvin dengan kondisi kurang bergairah seperti ini. Dia bersilih pakaian dengan kaku. Padahal lazimnya ia akan bergerak tak tentu arah, memamerkan tubuh atletis hasil perjuangan workout.

Tubuhnya tengah bersilih pakaian, namun pikirannya melanglang buana tanpa arah. Otaknya mulai dipenuhi pikiran-pikiran negatif, membuat keaktifan kontrol jadi lebih minim.

Ketampanan Malvin kian bertambah setelah jersey basket melekat di tubuhnya. Aura bintang benar-benar terpancar menyejukkan pandangan. Setelah mengampukan perlengkapan ke dalam tas, Malvin lebih memilih untuk ke kantin sendirian. Padahal teman-temannya tengah asyik membahas startegi pertandingan final nanti. Seharusnya, Malvin nimbrung dalam diskusi sebagai ketua tim.

Ia belum sarapan sejak pagi. Mungkin dengan sarapan perasaan stres bisa menghilang sejenak.

“Lah Lu mau kemana, Vin?” tanya Kios yang menyadari gerakan Malvin.

“Gue mau sarapan ke kantin. Makanan belum absen ke usus gue”

Udin menatap sebal. “Bagaimana dengan startegi final nanti? Ini harus dibahas sekarang karena match tidak lama lagi.”

“Kalian dulu aja yang berdiskusi terkait strategi, biar nanti aku tinggal koreksi.”

Kios menatap sebal. “Lah, tapi Lu yang dipercayai sebagai ketua. Harusnya punya rasa tanggung jawab donk”

Malvin mendesis kecil. “Gue tahu apa tugas gue sebagai ketua. Gue juga tahu memposisikan diri. Tapi pikiran gue saat ini sedang buntu, dan gue butuh rehat lima menit,” seru Malvin sambil berjalan menjauhi temannya.

Malvin melangkahkan kaki dengan gontai menuju kantin. Jaraknya cukup dekat dari kelas. Setiap langkah Malvin yang menubruk tanah menghipnotis pandangan murid-murid. Malvin melangkah penuh wibawa mendekati ibu kantin, arkian memesan menu seperti biasa yang telah dihapal Ibu kantin. Maklum saja, Malvin sarapan di kantin setiap hari.

“Ini nasi putih dengan telur balado dan nangka gulainya, Vin” ucap Ibu kantin sambil menyodorkan makanan. Malvin lantas berucap terima kasih arkian memberi bayaran. 

Sarapan kali ini sedikit berbeda. Tidak bergotok waktu dan menu sarapan. Juga bukan transformasi tempat duduk. Malvin merasakan perbedaan rasa di sarapan. Tentu pikirannya yang sudah dihantui stres menjadi penyebabnya.

“Sialan, sisa poin gue tinggal lima. Sekali telat lagi, bisa-bisa gue bakal out dari sini. Mana gue lulus lama lagi. Posisi gue benar-benar di ujung tanduk,-

“Bangsat, kok capek banget jadi gue. Toxic Parent, tiap hari bakal jadi babu di rumah. Tukang pikul beban tim. Gue gak bisa bayangin gimana match final kalau tim kami kalah. Bisa-bisa gue dibully karena kalah lawan junior, apalagi statusku kapten andalan sekolah. Dan sekarang, gue meratapi sisa poin pelanggaran yang tinggal lima. Kalau out dari sekolah, bakal jadi sampah gue di rumah,” racau Malvin sambil mengacak-acak rambutnya. Pikirannya benar-benar dipenuhi adonan rasa yang berbeda. Bahkan lima sendok sarapan yang ia pesan belum terbang ke mulut.

Dari kejauhan, ternyata ada seseorang yang menilik Malvin dengan serius. Dia si sekretaris OSIS, Emma. Di tangannya terhadang buku kecil dan pensil. Ia berhasil menangkap kondisi Malvin yang terselubung masalah dan kecemasan. Dari ekspresi dan cara Malvin mengacak-acak rambutnya saja sudah berhasil mewakili ekspresi kecemasan.

“Apakah masalah yang besar benar-benar menghantui pikiran bang Malvin. Sampai sarapannya belum lahap dimakan,” kata Emma penuh kasihan. “Apa jangan-jangan, perkara poin tadi berhasil mengacaukan pikirannya?”

Emma terbelalak kaget menyadari semuanya. Benar, ini rencana kelas mereka sejak kemarin. Wayne, Eric, dan Emma teman satu kelas, dan akan match final melawan kelas Malvin. Tentu mereka menyadari bahwa kekalahan adalah jawaban untuk final. Karena itu rencana busuk dimulai mereka dengan mengacaukan pikiran Malvin. Ya, kejadian tadi pagi dengan berbohong jumlah poin Malvin. Padahal belum mencapai lima puluh, tapi mereka berucap 295. Dan Emma menyadari hal itu.

***

Final pertandingan basket sudah mendekati waktunya. Riuh dan semarak para supporter di tribun menghiasi GOR sekolah. Tim cheerlider masing-masing tim bergerak indah di bibir lapangan, menyalurkan energi positif.

Kedua tim tampak berkumpul di tepi lapangan. Saling mengecek persiapan masing-maisng, berharap dapat mempersiapkan diri dengan baik. Hingga sepersekian detik kemudian, kedua tim memasuki lapangan.

Malvin benar-benar kurang terpancar. Mukanya datar tanpa ekspresi dan spirit. Ibarat padi setelah panen yang hidup segan mati tak mau. Malvin tidak bersemangat untuk match ini.

Wasit melambungkan bola ke udara, yang kemudian dengan cepat diperebutkan kedua tim. Malvin bergegas meloncat hendak mengambil bola, namun disusul oleh tim lawan yang sedikit mendorong bahu Malvin. Serasa manusia tanpa tulang, Malvin dengan mudah terjungkir ke samping. Tubuhnya roboh menghantam bumi.

“Sialan,”ucap Malvin yang tak sadar akan hal itu.

Teman satu timnya menatap aneh. Merasa janggal dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Seorang Malvin rubuh hanya dengan dorongan kecil?

Malvin bangkit dari posisi tidurnya. Sembari membersihkan jersey, ia kembali ke permainan.

Waktu terus berjalan. Melahap setiap peristiwa, termasuk pertandingan basket. Dalam perjalanan panjang itu pula Malvin belum berhasil mencetak poin. Sudah berapa kali umpan diberi, tapi dia gagal memanfaatkannya dengan baik. Bahkan saat pinalti sekalipun, ia gagal hingga mendapat kecaman dari satu tim dan sorakan berisi anggapan remeh dari tribun penonton.

“Lo ada masalah apa sih, Vin?” tanya teman satu timnya. “Ini bukan penampilan biasanya dari diri mu”

“Betul itu. Ini mah permainan bocil SD,” imbuh teman satu lagi yang membuat Malvin tersentak kaget penuh amarah.

“Maksud Lo apaan?” tanya Malvin sambil berjalan mendekati sumber suara. 

Sepersekian detik kemudian Malvin menarik jersey temannya lantas berucap kotor di udara. “Lo harusnya sadar diri kalau Lo cuman beban tim, bangsat. Lo sadar diri,” bentak Malvin sambil melayangkan tinjunya kepada pria tadi. Alhasil, pria tadi roboh ke tanah.

Malvin belum merasakan kepuasan. Ia kembali bergulat dengan pria tadi arkian membalas ribuan tinju tepat di wajahnya. Melihat hal itu, sontak satu tim Malvin melerai mereka berdua. Menarik keduanya agar perkelahian terhindari.

Dibalik itu semua ada penyesalan yang siap menanti. Wasit mendiskualifikasi tim Malvin dan menjadi runner-up.

***

“GUBRAK!!!”

Bahana pintu kelas meruak ke atmosfer. Tak hanya sekali, namun berulang kali. Penyebabnya bukan semilir angin penyejuk waktu siang. Juga bukan kondisi pintu yang sudah berumur. Perhatikan baik-baik, sekumpulan manusia tengah membenturkan satu orang manusia ke pintu berulang kali. Tiap dorongan mengandung energi maksimum, membuat orang yang didorong tak mampu melawan, bahkan menghindar sekalipun.

Dia hany mampu menendang kecil-kecil sambik berucap kasar kepada manusia-manusia yang membulinya. Dan dia adalah Malvin si ketua basket andalan sekolah.

Saat ini kondisinya sangat genting. Berdiri kokoh sendirian sambil terus-menerus menahan serangan yang diberikan manusia-manusia yang tak lain adalah temannya sendiri. Lihat bagaimana wajah merah bekas pendaratan tinju di wajah Malvin.

“HAJAR GUE BANGSAT, AYO HAJAR GUE,” ucap Malvin penuh emosi untuk kesekian kalinya. Tanpa sadar darah segar merembes dari bibir bawahnya.

BERSAMBUNG.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selumbari untuk Lusa

Anak F

Nyanyian Lampu Merah

Kotak Langganan Email

Nama

Email *

Pesan *